Judul: Come Back, Please…
Author: Annadekorin
Disclaimer: Naruto(c) Mashashi Kishimoto
Rating: T
No. Prompt: #8
Kategori: SasuSaku AU
Word: 6.434
Summary:[S-Savers Contest: Banjir TomatCeri] Waktu itu, kau
memintaku untuk menunggu di taman. Dengan syarat lulus ujian. Tapi, sekarang
dimana dirimu? Bukankah kau berjanji membawakanku karangan bunga dan hadiah? Mana
janjimu? Aku terus menunggumu.
Angin musim dingin
berdesir. Menelusup ke rongga-rongga tubuhku. Di atas hamparan salju putih, aku
berbaring. Memejamkan mata sesaat. Coba untuk ikut mendinginkan otak yang mulai
memanas usai latihan soal.
Ini salah satu
cara yang kulakukan untuk mengusir rasa lelah. Sudah berapa hari aku tak
merasakan udara sejuk nan tentram seperti ini. Aku kebanyakan menghabiskan
waktu untuk belajar dengan guru privat tampanku. Meski tampan, tapi serasa
berada di neraka kalau berguru dengannya. Dia sudah seperti malaikat maut yang
siap menyiksaku jika aku melakukan kesalahan. Tapi mendadak sangat baik ketika
aku berhasil mencapai target yang ditentukan.
“Hey!”
Aku menghirup
semerbak harum papermint kala sepatah kata itu terucap. Entah dari mulut siapa.
“Heh! Jidat!”
Kedengarannya
sumber suara itu jaraknya tak jauh dari tempatku berbaring sekarang. Kalau coba
untuk mencerna kembali suaranya, terdengar familiar. Ya aku kenal…
Tapi… siapa ya…
Gurukah? Mungkin
iya. Aku coba mengerjap-ngerjap. Samar terlihat bayangan sepasang mata onyx.
Set!
Tubuhku mendadak
tegang. Mataku membulat sempurna. Kala aku baru sadar siapa yang berada di
hadapanku saat ini. KYAAA~
Aku terkejut bukan
main. Ditambah lagi wajah guruku itu sudah berada tepat di depan mataku
sekarang. Jarak yang terpaut sangatlah dekat. Jantungku memicu berdegup
kencang. Apa yang harus kulakukan, Tuhan…?!
Paras rupawannya,
hidung yang mancung, sorot mata tajam seperti elang, dan bentuk bibirnya yang
menggoda…
Oh, Tuhan~ dia
sangat tampan jika dilihat dari dekat seperti ini.
“Apa yang kau
lakukan di sini?! Aku mencarimu tadi.”
Emmhh~
Kucium lagi wangi
papermint itu. Menggoda sekali. Dia pakai pasta gigi apa ya?
Ah, tapi sekarang
bukan itu masalahnya. Rasa-rasanya jantung ini mau meledak. Sampai kapan akan
begini, Senpai? Aku sudah tidak bisa mengontrol jantung dan endusan napasku
yang mulai mengacau ini.
Aku jadi teringat
saat dimana pertama kali aku bertemu dengan Guru. Persis seperti ini. Bedanya
hanya waktu itu saking kagetnya, jidatku membentur jidatnya. Karena terlonjak.
Saat itulah dia memanggilku 'Jidat'. Dan tanpa disangka, dia ternyata adalah
seorang Uchiha. Ibuku yang memintanya untuk mengajariku.
“Ayo berdiri.”
Akhirnya dia mulai memberi jarak. Menegakkan kepalanya dengan normal sambil
mengulurkan sebelah tangan.
Aku terperangah.
Lekas membalas uluran tangannya itu. Lalu mengambil posisi duduk.
“Waktu istirahatmu
habis.” Ujarnya sambil menaruh kedua lengan di atas lutut. Dia dalam posisi
berjongkok sekarang.
Kueratkan mantel
pink yang melekat di tubuhku ini ketika semilir angin dingin menyerbu tubuhku.
Jujur saja, aku merasa ngantuk sekarang. Tak ada niat lagi untuk melanjutkan
belajar. Bisa dibilang try out
sebelum mengikuti test masuk Konoha High Internasional School. Sungguh
melelahkan.
“Ayo.” Ajaknya
sambil bangkit.
Helaian rambut
raven chicken butt-nya menari-nari tertiup angin. Juga mantel coklat yang ia
kenakan tampak lebih besar dari ukuran tubuhnya. Tampan sekali. Dan nampaknya
tak bisa kumiliki.
“Ya ampun,
Senpai…, aku ini capek. Bagaimana bisa aku lulus kalau belajarnya seperti
ini?!” Sergahku mulai resah.
“Sebentar lagi
saja, Sakura. Dan harus berapa kali aku ingatkan, jangan panggil aku Senpai!”
Ucapnya sambil sesekali memandangi arloji di tangannya.
Aku tak terbiasa
menyebut nama kepada orang yang lebih tua dariku. Kalau tidak sebut Senpai, aku
sering memanggil nama keluarga yang disandangnya.
Aku menghela
napas. “Baiklah, baiklah, Uchiha-san.” Kataku pasrah sambil bangkit.
Menyibakkan rok mini yang agak basah. Aku sengaja memakai stocking hitam dari
paha sampai ke ujung kaki. Agar tak kedinginan. Ditambah balutan kaos kaki dan
sepatu.
Sret.
Sasuke
mengeluarkan sebuah kacamata berbingkai hitam di bagian atasnya. Lalu ia
menenggerkannya di atas hidung mancungnya itu. Ahh~ Dia jadi sangat tampan.
Rasa-rasanya aku meleleh bak lilin. Sorot mata onyx masih tajam. Dalam hati aku
berdecak kagum. Ingin sekali mengutarakan padanya bahwa aku terpesona.
“Ayo,” Sasuke
menarik tanganku.
Ahh~ musim semi
sudah datang ya? Disaat orang-orang kedinginan, dan salju tebal yang
menyelimuti kota Tokyo ini membuat suhu berubah drastis menjadi -28. Tapi aku
sendiri malah merasa musim dingin telah berlalu. Berada dalam genggamannya, aku
akan selalu merasa hangat. Aku ingin terus begini.
“Sudah kusiapkan
buku-buku matematika untuk kau pelajari.”
Lekas aku
mengangguk. Setuju. Lamat kuperhatikan siluet wajahnya dari samping. Dia lebih
tampan dengan kacamata ini. Tentu tak sampai menutupi sorot matanya yang tajam
itu.
Bugh!
“Hyaa~!” Tiba-tiba
saja satu pukulan melayang tepat mengenai kepala belakangku. Refleks tubuhku
sedikit terhuyung kedepan. Aku merutuk, ini kan sakit. Apa dia tidak
merasakan?! Ugh!
“Jangan terus
memperhatikanku seperti itu!” Tegasnya dengan wajah datar.
Aku berdengus
kesal. Sifatnya yang tak segan-segan ini memang menyebalkan. Tak terlalu sakit,
sih kalau yang memukulnya adalah Sasuke. Hehe.
…
Blam!
Kami memasuki
ruangan pribadiku. Perpaduan warna putih dengan biru muda yang indah
mendominasi. Dan hampir setiap hari aku selalu membereskannya. Semenjak kami
belajar di sini, aku jadi ingin selalu terlihat rapi. Meski sebenarnya aku
pemalas. Beres-beres pun hanya satu kali seminggu.
Ah, sudahlah.
Intinya, dulu aku itu cewek pemalas. Cuek akan penampilan. Sampai-sampai dulu
itu tak ada satupun make-up di meja rias.
Dan ini mungkin
adalah salah satu bentuk perubahan drastis dalam hidupku. Aku yang tomboy,
mendadak feminin. Aku juga sengaja membeli beberapa make up. Itu semua demi
Sasuke.
Beberapa foto
kecilku dipajang rapi di dinding dengan bingkai elegan. Dan meja belajarku
berada tepat di bawahnya.
Kami duduk.
Menghadap meja yang sudah dipenuhi tumpukan buku tebal. Jujur saja, melihat itu
saja aku sudah mual, pusing, rasa-rasanya maag-ku kambuh seketika.
“Nah, mari kita
mulai.” Ujar Sasuke sambil membenarkan kacamatanya yang agak melorot itu. Lekas
ia mengambil sebuah buku di paling atas. Jari-jemarinya mulai membuka helai
demi helaian buku itu dan berhenti di sebuah halaman. Dia mulai menjelaskan
pendahuluannya. Seperti yang kuketahui, kalau dia sedang menerangkan, suka
asyik sendiri. Aku sendiri tak mengerti apa yang sedang dibicarakannya dengan nada
yang cepat tanpa titik koma. Tapi sebenarnya bukan itu yang kuperhatikan, tapi
siluet wajahnya dari samping tampak lebih keren jika sedang berbicara. “Kau
mengerti?” dan dia selalu mengakhirinya dengan pertanyaan itu. Sasuke menoleh.
Dan aku sempat tersentak.
Aku mungkin tak
sempat mengontrol wajahku sendiri. Setelah kusadari setetes cairan aneh
mengalir dari sudut bibirku, aku terenyah. Segera aku mengatupkan mulut yang
termangap sedari tadi. Kuseka cairan itu. Lekas mencoba untuk tampil lebih
menjaga image.
“Kamu ngomong apa?
Aku gak ngerti, hehe.” dan akhirnya aku hanya terkekeh.
Sasuke mengerling
sambil mendecakkan lidahnya. “Kerjakan saja itu! Aku mau istirahat!” dengan
pasrah, dia memberikan buku paketnya padaku. Menunjukan sederetan soal pilihan
ganda dan angka-angka yang membingungkan.
Sasuke sendiri
malah dengan santainya beranjak lalu berbaring di ranjangku.
“Aku mau tidur.
Kalau sudah selesai, tunggu sampai aku bangun. Sekarang kan hari terakhirmu
belajar sebelum ujian.”
Selalu saja begini.
Lama-lama aku bosan. “Menyebalkan! Kau ini biang tidur, ya?!” aku sedikit
kesal.
“Sudah kubilang
kan, fisikku lemah. Kau juga tahu kan aku bahkan sampai berhenti sekolah karena
fisikku ini.” jelasnya sambil memejamkan mata.
“Ugh, kau bohong,
kan?”
Bibirnya
tersungging. “Dari mana kau tahu?”
Aku pun hanya
menghela napas. Pasrah.
Sudah berapa kali
dia menimbal dengan alasan itu. Dan kurasa itu hanyalah 'alasan' agar dia bisa
istirahat. Menyebalkan sekali dia. Aku tidak pernah mempercayai alasan yang tak
logis itu. Kalau memang fisiknya lemah, kenapa dia bisa bertahan di tengah hamparan
salju? Ahha~ dia tak pandai berbohong. Dasar Sasuke-senpai!
Sebenarnya umurnya
hanya beda beberapa bulan denganku. Tapi sekolahnya dua tingkat lebih tinggi
dariku. Katanya, dia itu cerdas. Dia punya kelebihan. Bagi keluarga Uchiha
memang sudah tak asing lagi. Orang-orangnya pada cerdas. Tapi, masa Sasuke
berhenti sekolah hanya karena fisik lemah?
Ha~ kurasa itu
hanya iming-imingnya saja. Tak mungkin siswa kelas 3 yang sebentar lagi mau
tamat, malah keluar. Dasar tak pandai berbohong.
…
“Uchiha-san…” kataku
lembut sambil duduk di sebelah tubuhnya yang masih terbaring. Damai dalam
tidur. Aku sedikit mendekatkan wajahku padanya. Coba untuk memandangi sosok
guru itu dari dekat. Sepasang mata indah masih terpejam. “Uchiha-san…”
panggilku sekali lagi.
Alisnya mengerut.
Dia tampak berat membuka kelopak matanya. Sasuke mengerjap-erjap. Berulang kali
ia coba memfokuskan matanya padaku.
“Aku sudah
selesai..” ucapku sambil tersenyum simpul.
Sasuke menggeliat.
Kutegakkan badanku. “Kenapa kau membangunkanku? Argh~ aku masih mengantuk.”
keluhnya sambil beralih posisi membelakangiku.
Sebenarnya aku tak
tega membangunkannya. Karena selama ia tertidur, wajahnya tampak tenang. Aku
senang memandanginya. “Gomennasai, Sasuke-senpai. Ini sudah malam..” jelasku.
Tubuh Sasuke yang
awalnya lemas, mendadak jadi tegang. Dia terperanjat. Setengah badannya
terangkat. “Sudah malam?!” tanya dia tampak terkejut. Onyx-nya membulat
sempurna.
Aku mengangguk
sambil mempertahankan senyuman manisku itu. “Kalau mau menginap, aku tak
keberatan kok.”
Langit yang
berubah menjadi hitam kelam dihiasi bintang-bintang serta cahaya bulan yang
benderang. Aku tidak berbohong. Sungguh ini sudah malam, barusan saat aku
menyibakkan gorden pun aku sempat melihat langit biru yang berubah menjadi
kelam.
Segera Sasuke
bangkit. Beranjak dari ranjangku. Saat ia hendak pergi, tiba-tiba ia merenggut
kepalanya sendiri. Alisnya mengerut. Dan tubuhnya pun refleks terduduk kembali
di kasur.
“Kenapa?!” aku
mendadak panik. Dia tampak merasakan sakit yang tak tertahankan. Tidak mungkin
jika hanya sakit kepala biasa. Dia sampai menjambak rambutnya seperti itu.
Sasuke merintih.
“Argh- ambilkan tasku, Sakura…!” katanya dengan nada serak.
“Kau mungkin
harusnya jangan langsung bangun tadi. Kau berbaring dulu sebentar. Ini kan
akibatnya kalau langsung bangun. Pusing jadinya.” sambil membawakan tas hitam
yang tergantung di kursi, aku menggerutu. Sudah tahu kalau baru bangun tidur
jangan langsung bangkit, oeh ini malah nekad. “Nih..” aku menyodorkan tasnya.
Dan aku pun
berinisiatif memberikannya segelas air putih. “Minum dulu, Uchiha…” Ucapku
sambil menyodorkan airnya ke mulut Sasuke. Ia meneguknya sampai tak tersisa.
“Arigatou.” Sasuke
menyeka bibirnya yang agak basah itu. Dan wajahnya terlihat lebih tenang
sekarang. Tak ada beban, tak ada tekanan. Setidaknya aku bisa bernapas lega.
“Mau kuantar?”
tawarku agak cemas sambil duduk di sampingnya.
“Tidak usah…, uhuk
uhuk!” Sasuke terbatuk-batuk. Aku memegang halus satu pundaknya. “Mana hasil
kerjamu tadi?” tanyanya.
“Eh iya.
Sebentar.” aku beranjak mengambil buku paket di meja belajar. Lantas
memperlihatkannya pada Sasuke sambil tersenyum percaya diri.
Dengan serius
Sasuke menelaah soal demi soal yang telah kukerjakan. Aku tak ragu. Kali ini
pasti lebih baik.
Selesai, Sasuke
menggulirkan pandangannya padaku dengan intens. Dan satu senyuman tipis
akhirnya mengembang di wajahnya yang rupawan itu. Aku merasa lega sekali.
“Masih sama.”
Eh? Aku mengernyit
tak mengerti. Bukannya barusan ia senyum artinya hasilku bagus? Tapi kenapa dia
malah bilang masih sama? Ditambah lagi dengan tampangnya yang mendadak datar.
“A-apa…?” aku sungguh tak percaya. Padahal aku sudah bekerja keras. Dan aku
yakin hasilnya akan baik. Kenapa… kenapa…? Arrgghh...!
Jujur, dalam hati
aku merutuki diri sendiri.
Tapi tiba-tiba
saja Sasuke mengangkat sudut bibirnya. Membentuk sebuah lengkungan indah.
Memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi. Sambil tertawa kecil ia merengkuh
tengkukku. Aku cukup tersentak. “Tidak…, Sakura. Hari ini ada peningkatan. Aku
yakin kau akan lulus.” ucapnya menaruh harapan tinggi padaku.
Mungkin tanpa
kusadari pipiku merona. Ini terlalu dekat, Sasuke~
Dia melepaskan
rengkuhannya kemudian bangkit. Sejenak kami saling menatap.
Puk-
Sasuke memegang
halus ubun-ubunku. Lalu wajahnya perlahan mendekat ke telingaku. Pipi kami
saling bersentuhan. Deru napasnya terasa hangat. Meletup-letupkan rasa di hati.
Memicu jantung berdegup dengan hebatnya.
“Berjuanglah.
Kalau kau lulus, aku akan membawakanmu karangan bunga, dan…”
Sasuke
memain-mainkan bandana merah yang melekat di kepalaku. “Sebuah hadiah.”
lanjutnya yang lantas menegakkan kepalanya. Sungguh aku tak tahu bagaimana
wajahku sekarang. Diluar dugaan.
Sasuke juga
menorehkan sedikit senyuman sambil menepuk-nepuk lembut satu pipiku.
Perasaan apa ini…
“S-Sasuke… kau…
manis…” kataku refleks.
Sasuke mengerling.
Menurunkan tangannya sambil menghela napas. “Jangan banyak bicara. Aku mau
pergi. Kita bertemu lagi nanti kalau kau lulus ujian masuk.” Jelasnya datar.
Menepuk-nepuk ubun-ubunku sambil berlalu pergi. “Eh—” Sasuke berbalik lagi. Aku
mengernyit.
“Apa?”
“Mau pelukan atau
ciuman di bibir?”
Aku ternganga.
Menatap tak percaya. Yang benar saja. Aku diberi tawaran membingungkan seperti
itu.
“Cepatlah.”
Bagaimana bisa aku
menjawabnya? Lidahku kelu. Gengsi kalau harus aku yang memilih. Jika bisa, aku
pilih dua-duanya saja. Aku bingung. Apa kalau aku memilih cium, dia akan
menciumku? Ya ampun, membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdegup
kencang dan pipiku memanas. Bagaimana ini? Aku tak bisa mengungkapkannya.
Sasuke berdecak
lidah. Ia meraih daguku. Bibirnya langsung menyambar bibirku. Aku tersentak.
Dia melumatnya dengan cepat. Napasku tersenggal. Ini terlalu mendadak. Aku
belum siap, kan. Terlalu dekat. Aku tak bisa melihat dengan jelas ekspresinya.
Sepasang onyx itu terpejam. Ingin cepat menghindar, namun aku tak ingin ini
berlangsung sekejap. Lebih lama lagi. Tak apa. Karena kecupan ini terasa
hangat. Merasuk ke dalam jiwa. Sasuke merebut ciuman pertamaku.
Sasuke akhirnya
menarik diri. Menyeka bibirnya. Aku hanya menggigiti bibir bawahku.
Menyentuhnya agak basah. “Nanti, temui aku di taman sakura. Aku pergi.”
pamitnya. Dengan cepat sosoknya menghilang dari pandanganku. Pintu berdebam
kencang. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku sekarang. Senang,
berdebar. Ah, semuanya bercokol dalam hati. Karena tak mampu mengungkapkan, aku
hanya tergugu.
…
…
Untuk pertama
kalinya aku bersungguh-sungguh untuk mencapai ekspektasi. Dengan semangat yang
tak biasa. Setiap kali senyuman itu muncul di benakku, aku seolah disihir untuk
terus berjuang dan belajar. Kedengarannya konyol. Aku berlatih hanya untuk bisa
melihat senyumnya serta mendapatkan hadiah yang ia janjikan. Khayalan-ku kian
menggila. Membayangkan di musim semi nanti, di bawah bunga sakura yang
bermekaran, seseorang datang padaku membawa karangan bunga dan kado spesial.
Lalu menghabiskan waktu bersama dengannya. Berjalan keliling kota.
Ah, aku terlalu
tinggi berharap. Haha, wajar untuk anak seusiaku. Kadang pikiran dibiarkan
melayang hingga terhanyut dalam khayalan yang tak nyata.
Sampai di hari H.
Ujian masuk diadakan serentak. Sambil terus merapalkan do'a, aku begitu yakin
mengisi semua soal yang ada. Rasanya tanganku bergerak sendiri. Otakku
mengalir. Semua yang diajarkan Sasuke tiba-tiba muncul begitu saja. Aku percaya
diri. Sebagai murid dari pangeran tampan, aku tak boleh kalah. Kali ini aku optimis.
Aku pasti dapat nilai yang besar.
Sampai saatnya
bunga sakura bermekaran. Hamparan salju yang tadinya menumpuk sekarang perlahan
terkikis karena sinar matahari. Beralih dengan tumbuhnya rerumputan hijau yang
menjernihkan mata. Ditambah warna soft-pink yang mendominasi taman. Pohon-pohon
sakura yang menjulang tinggi itu kini memberikan keindahan yang tak biasa.
Seakan ada senyuman yang menyertai. Berhubung dengan pengumuman penerimaan
siswa baru.
Aku berjalan riang
menuju sekolah. Langkah kakiku lebih besar dari biasanya. Membiarkan rambut
soft pink-ku mengombak-ambik. Tak lupa senyuman manis untuk awal musim semi
yang manis. Tak peduli dengan pandangan mereka padaku. Aku hanya menghiraukan
setiap tatapan heran itu. Seolah aku adalah orang yang paling bahagia di dunia
ini.
Tak ambil lama,
aku langsung menuju papan pengumuman. Hampir satu angkatan mengerumuni papan
itu. Saling berdesakan dan mendorong. Hanya demi mengecek apakah namanya ada di
daftar itu atau tidak. Aku berjinjit. Jarakku ke papan itu berkisar dua meter.
Bagaimana mungkin aku bisa melihat jelas tulisannya. Beberapa kali aku coba
menerobos, namun mereka tak memberi celah. Seperti ingin enak sendiri. Bahkan
tak sedikit dari mereka malah belum puas jika hanya sekilas melihat namanya saja.
Mereka berdiam diri sambil bergumam. Aku berdecak kesal. Aku kan ingin segera
dapat hadiah dari Sasuke.
Akhirnya kuterobos
saja. Meski banyak yang mendelik tajam padaku. Emeraldku menyapu daftar nama
dan nomor peserta itu. Lalu terpaku pada nomor 292 atas nama Haruno Sakura.
Mataku berbinar. Dalam hati aku ingin berteriak. Kubekap mulutku. Menahan
napas. Jantungku memacu berdegup kencang. Tak terbayang bagaimana nanti Sasuke
akan menemuiku. Aku bergegas keluar dari kerumunan.
Kakiku rasanya
terbawa angin. Melangkah jauh. Semakin cepat. Tak peduli pada orang-orang yang
memandangku heran. Aku tak sabar. Aku berlari ke taman sakura yang dijanjikan
Sasuke. Lengkungan senyumku tak bisa memudar. Sasuke, aku datang!
Jauh di depan sana
mulai terlihat warna soft pink yang mendominasi. Aku semakin kencang berlari.
Memasuki kawasan taman sakura. Pohon-pohonnya berjajar di dua sisi jalan.
Seolah menyambut orang yang ingin berkunjung dengan bunga indah yang
memanjakan. Banyak keluarga yang ber-hanami di bawah pohon sakura. Aku mencari
sosok Sasuke di tengah keramaian.
Di pertengahan
jalan, aku diam sejenak. Napasku terengah. Aku duduk sebentar di bangku taman.
Kukeluarkan ponselku. Mengetik sebuah pesan. 'Aku di taman. Kau dimana? Cepat
ke sini. Kau penasaran kan, aku lulus atau tidak?' Kukirimkan ke nomor Sasuke.
Dengan perasaan
paling bahagia, aku terus menunggunya. Sambil bersenandung ria. Di bawah pohon
sakura.
Meski sampai malam
menyapa pun dia tak kunjung datang. Aku masih menunggu dengan hati dilanda kegelisahan.
Di hari
berikutnya, sepulang sekolah aku kembali ke taman itu. Dengan harapan tinggi
bertemu Sasuke. Di bangku biasa. Berapa kali aku hubungi dia. Namun tak ada
kabar. Dia tidak menunjukkan batang hidungnya. Sampai awan hitam membentang di
langit, aku pulang dengan rasa kecewa. Sebenarnya, dia yang pembohong atau aku
yang terlalu berharap?
Hal itu terus
kulakukan. Hampir seminggu lebih. Dan masih tak ada kabar tentang Sasuke. Bukan
hadiah yang kunantikan. Tapi kehadirannya. Dia membuatku cemas. Telepon tak
diangkat. Sms tak dibalas. Bahkan di Line pun dia off. Apa harus kususul ke
rumahnya? Yang benar saja. Uchiha itu keluarga terpandang. Aku harus merangkai
kata-kata dulu sebelum berkunjung ke rumahnya. Kalau aku bicaranya tidak sopan,
bisa-bisa aku ditendang dari rumahnya.
Baru pulang
sekolah, aku sudah duduk manis di bangku taman. Aku masih menunggu Sasuke
dengan perasaan yang sama. Selang beberapa detik, kupandangi layar ponselku.
Hal yang selalu aku lakukan. Yang pertama kulihat adalah bar notifikasi. Nihil,
tak ada pesan. Ataupun panggilan. Aku kerap kali menghela napas kecewa. Kusapukan
pandanganku ke sekitar. Hanya ada orang-orang yang asyik bersenda gurau. Tak
ada sosok berambut raven mencuat. Yang kutemui hanyalah…
Sosok yang
berambut raven lurus! Dia berjalan dari arah kanan. Kucir rambutnya itu seakan
sudah menjadi ciri khas. Dengan memakai kaos putih dibalut jaket yang dibiarkan
terbuka, serta jeans belel. Ia membawa sebuket bunga. Dari garis wajahnya yang
penuh keramahan itu terlihat familiar. Ya, dia Uchiha Itachi! Kakaknya Sasuke.
Aku lekas bangkit. “Kak Itachi!” teriakku setengah senang.
Onyx-nya langsung
memandang ke arahku. Kulambaikan tangan. Jarak antara kami tak terlalu jauh.
Sejenak dia mengernyit. “Kakak!” aku berlari ke arahnya. Dia mungkin sudah lupa
padaku. Karena itu, dia tak tersenyum. “Kakak mau kemana?” tanyaku basa-basi.
Sejenak onyx itu
menelusuriku dari atas sampai bawah. Lalu terpaku pada bandana merah di
kepalaku. Tak lama bibirnya membulat. Ber-oh. Dia baru mengenaliku. “Oh,
Sakura-chan? Kau sudah besar, ya. Kemana saja kau ini?” dia tersenyum. Menepuk pipiku
halus. Aku balas senyum simpul. “Ada apa?” kini aura lembut itu terpancar.
Meski Kak Itachi lebih terlihat dewasa, dia tetap baik seperti dulu. Ya, waktu
kecil aku pernah bermain dengannya. Bersama Sasuke pula. Namun karena kami
jarang bertemu lagi sejak 10 tahun yang lalu itu, kami jadi agak pangling.
“Kakak mau
kemana?” aku mengulang pertanyaan.
“Oh, ini, err
sebenarnya aku sedang cari seseorang di taman. Tapi tidak tahu siapa.” jawabnya
memasang tampang kebingungan.
“Hmm. Memang orang
seperti apa yang kakak cari?”
“Entahlah. Kau
sendiri sedang apa disini?”
“Emm, tidak ada.
Err, anoo, belakangan ini aku tak melihat Sasuke-senpai. Kemana dia?”
Kulihat alisnya
bertaut. Mungkin dia tak menyangka kalau aku akan menanyakan Sasuke. “Sasuke—?”
“Aku menunggunya.”
aku merengut. “Dia berjanji kalau aku lulus, dia akan menemuiku disini.” hatiku
merasa getir. Mengingat Sasuke sepertinya sudah tak mau peduli padaku. Aku
berharap penuh bisa mendapat kabar dari Kak Itachi.
“Kau menunggunya?”
Aku mengangguk.
“Sayang sekali—”
Mendengar itu, aku
terperangah. Baru sepatah kata sudah buat keringat dingin bercucuran. Apa
maksudnya 'Sayang sekali' dengan nada yang tak menyenangkan itu? Ada sesuatu
yang terjadi? Ya ampun, itu membuat hatiku bergetar. Buatku penasaran. Ada apa?
Ada apa? Tolong, jangan bilang hal yang membuatku sakit. Aku tak siap
menanggungnya.
“Dia—”
Kumohon, berilah
aku kabar yang menggembirakan. Jangan membuat air mataku turun.
“Dia kan pergi.”
Aku ternganga. Tak
percaya. Atau tak ingin mempercayainya. Air mata itu menggenang siap tumpah.
Aku getir. “P-pergi? K-kemana?” aku terbata.
Kak Itachi terdiam
cukup lama.
“Dia, dia pergi.
Dia juga sudah bertunangan. Maaf, ya kami tak sempat mengundang. Acaranya
mendadak, sih.”
Jleb-
Apa-apaan ini? Ini
mimpi, kan? Jujur, seluruh tubuhku gemetar. Tak sanggup menerima kenyataan itu.
Cukup pergi saja, tak usah bertunangan. Tak ingin percaya. Semua kenyataan ini
harus bohong. Air mataku juga tak boleh menetes. Tahan. Tahan. Meski
pandanganku sudah nanar.
“Sakura-chan? Kau
tidak apa, kan?” dia seakan tahu perasaanku.
Rasanya sekarang
aku ingin menjerit. Ingin kujambak rambutku sendiri. “K-kenapa secepat itu?”
“Dia tak ingin
berlama-lama.”
“Dengan siapa?
Siapa tunangannya?” desakku.
Onyx itu
berpaling. Seakan enggan membuatku lebih menderita lagi. Bisa kulihat ada air
mata yang menggenang di pelupuknya. Ada apa sebenarnya? “Aku pergi dulu, ya.
Sakura-chan. Jangan terus menunggu Sasuke, ya.” dia tersenyum sebelum akhirnya
pergi meninggalkanku. Walau kutahu senyuman itu palsu. Dia pasti menyembunyikan
sesuatu.
Apa yang ia
sembunyikan tentang Sasuke? “Kak Itachi!” panggilku kembali. Baru sadar,
kepergiannya sudah terlalu jauh. Aku terus memanggil.
Namun nihil, dia
tak menoleh. Entah tak dengar atau tak ingin melihat padaku. Untuk lari
mengejar pun tak mungkin. Dia sudah pergi, bahkan sosoknya menghilang dari
pandanganku. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Akhirnya aku bertekad. Lari
sekuat tenaga. Aku tak boleh kehilangan jejak Kak Itachi sebelum aku percaya
akan kabar itu.
Drap drap drap!
Sasuke, harusnya
kau tak memberi harapan padaku, kalau akhirnya akan begini. Kau harus
bertanggung jawab telah membuatku jatuh cinta. Jujur, aku tak pernah merasakan
cinta setulus ini. Sasuke, kembalilah!
Samar di ujung
sana terlihat sosok punggung tegap dengan jaket ber-bordir lambang kipas
Uchiha. Rambut berkucir itu terjuntai ke bawah. “Kak Itachi!” aku berhasil
memberhentikan langkahnya. Masih tak menoleh. Tapi kulihat satu tangannya itu
mencengkeram erat karangan bunga mawar. Sampai membuat tetesan darah yang pasti
menyakitkan. Tetes demi tetes itu jatuh menghantam tanah. Membuat genangan
kecil berwarna merah bercampur tanah. “Apa yang Kakak sembunyikan? Bicarakan
padaku. Semuanya. Bahkan hal yang paling menyakitkan sekalipun. Semuanya, hik,
hik…” aku terisak.
“…” Kak Itachi
masih terdiam. “Penjelasan tadi…, itu sudah cukup membuatmu sakit hati, kan?
Jangan tanyakan hal lain lagi. Harusnya sekarang kau bersenang-semang dengan
temanmu. Bukan menghabiskan waktu dengan menunggu adikku.” ujarnya. Tak melirik
sedikit pun.
“Itu berarti ada
yang Kakak sembunyikan! Beritahu aku. Untuk hal yang paling menyakitkan pun,
aku harus tahu!” aku bersikukuh.
“Memangnya kau
sanggup menanggungnya?”
Aku tergugu. Jujur
saja, aku memang tak bisa. Tapi aku ingin tahu. Apa yang disembunyikan.
“Kakak tidak mau
melihatmu menderita seperti ini. Kakak akan lebih senang kalau kau berbahagia
dengan temanmu.”
“Apa itu artinya
aku tak bisa berbahagia dengan Sasuke lagi?!”
Sejenak hening.
Hanya terdengar isak tangisku.
“Kalau aku
bahagianya hanya dengan Sasuke, bagaimana?” sambungku.
“Sebaiknya lupakan
saja.”
Aku ternganga.
Menatap tak percaya. Kata-kata itu membuatku tertusuk. Bagaimana bisa aku
melupakannya? Sementara otakku diciptakan untuk mengingat.
Kakinya
melenggang. Melangkah jauh. Dia pergi meninggalkanku lagi. Aku masih tertegun.
Air mata itu sudah membentuk parit di pipiku.
Ingin aku menjerit
Berteriak
Kenyataan yang
buruk memang sulit untuk diterima olehku. Butuh waktu untuk melupakan semuanya.
Aku berbalik.
Pulang dengan serpihan hati yang tersisa.
…
Katanya, aku harus
bahagia. Tersenyum. Tapi, apakah di saat seperti ini aku bisa seperti itu? Aku
ini tak pintar berpura-pura.
Tentang Sasuke
yang sudah bertunangan itu menjadi beban pikiran bagiku. Tatapanku kerap kali
kosong. Kadang aku duduk di pojokan kamar. Lagi-lagi merenung. Untuk makan dan
minum pun tak nafsu. Aku benar-benar stress. Ibu juga mencemaskan wajahku yang
pucat. Dia memaksaku untuk makan dan minum obat, tapi aku tidak mau. Kurasa,
aku baik-baik saja. Hanya otak saja yang terbebani.
Aku sampai bolos
sekolah satu hari karena jatuh sakit. Terbaring di kasur seharian. Menggigil
meski sudah dibalut selimut. Kelopak mata pun berat untuk dibuka. Rasanya semua
yang kulihat itu bergoyang. Bikin kepalaku pusing. Terpaksa aku terus
memejamkan mata dengan kompresan di atas keningku.
Ketika badanku
sudah lumayan sehat, aku kembali masuk sekolah. Aku perlu sedikit pengalihan.
Agar aku tak terhanyut dalam kesedihan. Seperti biasa, aku berjalan kaki menuju
sekolah. Kepalaku masih agak pusing. Jadi cara berjalanku jadi sedikit beda.
Tiba-tiba saja
sebuah motor ninja merah mendarat di hadapanku. Refleks aku berhenti sebentar.
Si pengendara membuka helm full face-nya. Kukira, dia Sasuke. Ternyata bukan.
Dia Kak Itachi. Satu tangan kanannya dibalut oleh perban. Mungkin bekas luka di
tempo hari itu. Rambut kucir itu seakan jadi ciri khas. “Mau berangkat sekolah?
Ayo, kakak antar. Sekalian pergi ke kampus.” tawarnya.
Aku berpikir
sejenak.
“Err, tidak.”
“Ayolah. Kau
sedang sakit, kan? Ayo, kakak antar.”
Dari mana dia tahu
kalau aku sakit? Wajahku masih pucat? Akhirnya aku mengangguk. Duduk di
belakangnya. Aku jadi tak enak padanya. Tapi, mesti bagaimana lagi, aku juga
sudah tak kuat. Kepalaku terasa berat.
Kak Itachi
bersiap. Dia memakai kembali helm-nya. Mesinnya dinyalakan. Langsung tancap
gas. Kecepatannya cukup tinggi. Membuat rambutku menari-nari. Mataku terpicing
menahan terpaan angin. “Err, di Konoha High School.” ucapku.
“Kakak sudah
tahu.”
Aku tertawa
hambar. Lucu juga diriku ini. Dia ini kan Kak Itachi. Pastilah tahu dimana
sekolahku. “Maaf.”
“Aku senang kau
sudah bisa tersenyum.”
“Iya.” dalam hati
aku menggerutu. Aku ini sakit karena memikirkan Sasuke. Kak Itachi tak tahu hal
itu. Dia pikir, aku bisa langsung tersenyum setelah mendengar kabar buruk itu?
Air mataku menelesak turun. Kak Itachi malah mengingatkanku pada Sasuke. Dari
kemiripan wajahnya saja buatku rindu setengah mati pada Sasuke. Kemana Sasuke?
Dengan siapa dia bertunangan? Pertanyaan itu muncul kembali. Aku ingin sekali
lagi melihat wajahnya.
Sampai di sekolah,
aku turun dari motor. Lekas menyeka alur air mata di pipiku. Berpamitan
padanya. Lantas berlari masuk kelas. Menyadari bel masuk sudah berbunyi.
Selama pelajaran
berlangsung, pikiranku tak sepenuhnya memikirkan pelajaran. Kapasitas otakku
tersita oleh Sasuke. Mengingat kenangan manis. Aku takkan bisa masuk sekolah
ini kalau bukan karena dia. Dia adalah orang yang menjadi alasan untukku
tersenyum. Alasan kenapa aku menjadi feminin. Mungkin sekarang aku harus
menanamkan rasa benci padanya. Jahat sekali dia. Memberiku harapan, setelah itu
pergi tak tahu kemana. Apakah orang seperti itu layak untuk dicintai?
Tapi…
Sekuat apapun aku
berusaha melupakannya…
Apalagi membencinya…
Aku tak bisa
menghapus rasa suka ini. Walau hanya secuil yang tersisa.
Ada yang bilang,
harusnya aku mencintai seseorang yang bisa membuatku bahagia. Namun, beginilah.
Mencintai seseorang itu tak selamanya bahagia. Kadang sedih juga. Yaa, mau bagaimana
lagi? Sudah terlanjur jatuh cinta. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, lebih
baik aku tak mengenal Sasuke. Memangnya siapa yang mau mencintai seseorang yang
hanya memberi harapan palsu? Mending diberi kepastian walau menyakitkan,
daripada diberi harapan namun palsu.
Aku benci Sasuke!
Jahat sudah
membuatku tak bisa berpaling. Bikin aku terus menangisi kepergiannya. Membawa
hatiku yang terdampar di hatinya. Pergi tanpa pamit. Tanpa memberi kepastian.
Ini terlalu sakit.
Tapi, kenapa aku
masih bertahan?
Aku kerap kali
merenggut jantungku sendiri. Menjambak rambutku. Bodohnya aku yang terus
menunggu dia yang tak pasti! Bodohnya aku yang terus bertahan sementara dia tak
peduli.
Tap…tap…tap…
Aku berjalan
pulang. Mataku bengkak. Hidungku agak merah. Wajahku makin kelihatan pucat.
Mataku berat. Aku juga tadi tak bergabung dengan sahabat-sahabatku. Kebanyakan
menyendiri.
“Sakura-chan.”
Aku terperangah.
Menoleh ke sumber suara yang berasal di sisi kiri. Aku mengira kalau itu adalah
Sasuke. Tapi itu dienyahkan kembali dengan kenyataan yang ada. Bukan Sasuke.
Melainkan Kak Itachi. Kini sosok itu membawa sebuah kado dan karangan bunga
berbagai varian. Ada bunga tulip ungu, mawar, dan beberapa bunga sakura.
Sungguh, karangan yang indah. Aku saja yang baru melihatnya langsung terkesima.
“Kak Itachi?” emeraldku terpaku pada hadiah itu. Aku jadi ingat Sasuke yang
menjanjikan hal seperti itu.
Dia menyapaku
dengan senyuman simpul. “Sebenarnya, kakak menunggu Sakura-chan. Hadiah ini untuk
Sakura-chan.” dia menyodorkannya.
Ingatan tentang
Sasuke muncul secara bertubi-tubi. Membuat air mataku kembali menggenang. Tentang
janji itu. Termasuk kecupan manis di hari itu. Aku ingat. Semuanya aku ingat.
“Aku akan memberimu karangan bunga, dan
sebuah hadiah.”
Refleks aku
memegang ubun-ubunku. Turun, menjamah telinga dan pipiku yang kini basah dengan
air mata. Lalu berhenti di bibirku yang sedikit terbuka.
“Lupakan Sasuke.
Kakak juga berusaha melupakan Sasuke. Sekarang tugas kakak adalah membuatmu
bahagia. Jangan menangis. Maaf kakak memberi hadiah ini. Ini titipan dari
Sasuke, jadi kakak harus memberinya padamu.”
Aku masih
tertegun. Kini karangan bunga itu berada di tanganku. Tak sadar. “Kenapa Kakak
memberiku hadiah? Untuk apa? Harusnya simpan saja untuk Kakak. Buat apa Kakak
nyuruh aku untuk melupakan Sasuke, kalau Kakak malah memberikan sesuatu yang
bisa membuatku kembali mengingat Sasuke!” aku menggertak.
“Kakak juga tidak
mau kamu terus ingat Sasuke. Tapi Sasuke bilang, aku harus memberikan ini pada
Sakura.” kulihat air matanya menggenang. Sebenarnya Sasuke itu pergi kemana?
Luar negeri? Korea? Amerika? “Ini, bawa saja. Mau kau apakan juga terserah.
Yang terpenting kakak sudah berikan ini. Jangan menangis terus, ya.” Kak Itachi
tersenyum. Berusaha menghiburku dengan memelukku sekejap. Dan kotak hadiah itu
sekarang sudah ada di tanganku.
“Kakak pulang
dulu, ya. Masih ada tugas kuliah. Jaa-” Lantas ia pergi begitu saja.
Diam sejenak.
Tapi kemudian aku
mencampakkan hadiah itu ke tong sampah di dekatku. Tanpa berpikir. Pokoknya,
aku benci Sasuke. Aku tak mau lagi mengingatnya.
Aku berlari.
Pulang ke rumah. Sambil sesekali menyusut tiap air mata yang mengalir. Meski
sebenarnya ada rasa tak rela membuang hadiah itu. Aku harus bisa melupakannya.
Sreg-
Kubuka pintu rumah
dengan sedikit kasar. Aku heran melihat Ibu dan Ayah berkemas. Mereka tersenyum
melihatku. Seperti yang akan pergi berpiknik. Yang benar saja.
“Ah, kau baru
pulang. Ayah dapat gaji pertamanya di pekerjaan baru. Kita piknik di danau,
yuk.” Ibu terlihat bersemangat.
“Apa?” aku
mengernyit.
“Tadinya kita mau
hanami. Tapi itu kan sudah tidak aneh. Kita mau hal yang baru.” ucap Ayah.
Ibu menghampiriku.
Melepas tas ranselku. “Sana, siap-siap. Hapus air matanya. Kau sampai jatuh
sakit karena menangis.” Ibu menyeka alur air mataku. Dia berjalan menaiki
tangga. Mungkin untuk menyimpan tasku. “Kau ini anak muda, kan. Masa mudamu ini
harus berkilauan.” teriak Ibu dari lantai atas.
“Iya. Ayah juga
pernah merasakan jatuh cinta saat seumuranmu. Kau tahu? Ayah pernah hampir
bunuh diri karena ditolak oleh ibumu.” ucap Ayah.
Aku menganga. Baru
sekarang aku tahu cerita itu. Dramatis sekali.
“Sudah siap. Ayo,
Sakura.” Ayah menjinjing kotak khas piknik.
“Tidak perlu ganti
baju, langsung saja. Ayah sebentar lagi akan pergi kerja.” ucap Ibu yang sedang
menuruni tangga. Lantas merangkulku. “Ayo. Kau butuh hiburan.” Ibu mencolek
hidungku gemas.
Aku hanya ikut
saja. Sebagai anak, aku harus jadi pelengkap kebahagiaan mereka. Baru kali ini
aku merasa senang melihat kebersamaan kami begitu dekat. Ayah yang selalu
bergurau sepanjang jalan membuatku tersenyum lagi. Keluarga mungkin
satu-satunya obat bagiku.
…
Duduk melingkar di
atas hamparan permadani kecil. Rerumputan hijau tumbuh di pinggiran danau.
Seperti biasa, di musim semi selalu ramai dengan pengunjung. Meski hari ini
hanya ada pemancing dan beberapa keluarga lain yang piknik sama seperti kami.
Ibu mengeluarkan makanan dari kotak. Menyajikannya di tengah. Ada makanan
mewah, tradisional, rumahan. Umm, semuanya kelihatan lezat. Makanan yang jarang
kukonsumsi. Ayah benar-benar baik. Sampai ramen instan pun tersedia. “Ini
beneran kan, Yah?” wajahku mungkin berseri sekarang.
“Iya. Makanlah
sepuasnya. Kapan lagi kita kumpul lalu makan bersama seperti ini?”
Ibu menata
piringnya. Aku menggosok-gosokkan tangan. Siap mencicipi. Kuambil sumpit lalu
mengetuk-ngetukannya. Ayah dan Ibu melakukan hal yang sama. “Itadakimasu!” ucap
kami serentak.
Kami menyantap
hidangan dengan lahap. Suasana hatiku jadi sedikit lebih tenang. Karena melihat
wajah Ayah dan Ibu yang bahagia.
“Iya. Waktu itu
ibumu benci sama Ayah. Ibumu itu gengsinya tingkat dewa. Ngakunya benci
ternyata suka.” Ayah tertawa mengingat masa lalunya. Aku ikut tertawa dan Ibu
hanya memukul pelan bahu Ayah.
“Ayahmu itu
playboy. Jadi ibu tidak mau.” sergah Ibu.
“Kalau Ibu tidak
mau sama Ayah, aku gak akan lahir, sekarang.” aku tertawa geli.
“Bu, anak kita
udah besar, lho! Jangan lupa!” ingat Ayah dengan ekspresi jenakanya.
“Oh iya ya! Ibu
lupa!” Ibu menepuk jidatnya sendiri. Haha, pura-pura lupa.
Sejenak, luka itu
terlupakan…
Kini aku bisa
tersenyum.
Ingatan Sasuke,
jauhkan dulu saja. Aku ingin sedikit lebih lama bersenang-senang. Andai saja
Sasuke ada di sini. Hmh- aku menghela napas berat. Di saat seperti ini, aku pun
ingin Sasuke ikut merasakannya.
“Ibu, aku boleh
kan minta Uchiha untuk jadi guru privatku lagi?” tanyaku. Ketika makanan sudah
habis tak tersisa. Aku duduk dengan kaki terlentang. Kedua tanganku bertumpu.
Perutku kekenyangan. Susah bergerak.
“Tentu bisa. Kalau
kau mau.” jawab Ibu. Ada binar di mataku tatkala kalimat itu terucap. Ada
kemungkinan kecil kabar buruk itu enyah.
“Kalau begitu, aku
mau besok Uchiha ke rumahku.”
“Siap.” Ibu
merapikan kembali barang bawaannya.
“Hei, Uchiha yang
mana?” tanya Ayah. Dia duduk bersandar di bawah pohon. Perutnya buncit. Terlalu
banyak makan.
“Uchiha Sasuke.”
jawabku langsung.
“Ohh, Sasuke…”
mulut Ayah membulat sempurna. “Jangan-jangan kau suka padanya?”
Aku terperanjat.
Pipiku blushing. Secepat itu Ayah menyadarinya. Aku jadi gelagapan sendiri.
“A-apa? Yang benar saja, Ayah!”
Ibu tertawa geli.
“Tidak apa, kalau kau suka Sasuke. Dia itu baik. Pintar pula. Ibu juga suka.
Asal jangan suka sama Naruto. Haha.”
Naruto? Salah satu
siswa di sekolahku yang nilainya selalu jelek. Kurang disiplin, boros, rakus,
pembuat onar. Ah, hampir tak ada kelebihannya. “Naruto kan sudah punya Hinata.”
iya, Hinata. Gadis lugu yang cantik itu jatuh cinta pada Naruto si konyol.
Haha, cinta kadang seaneh itu.
“Sakura, cari
lelaki itu yang seperti ayah. Ayah memang suka bercanda. Tapi, ayah tidak suka
membuat wanita sebagai bahan candaan. Intinya, carilah seseorang yang bisa
memperlakukanmu dengan baik.” jelas Ayah yang masih bersantai. Ibu hanya tersipu.
“Sakura, kau mau
jalan-jalan, kan? Nah, di sekitar sini ada pohon apel. Tolong petik beberapa.
Ayahmu suka apel.” perintah Ibu sambil menyodorkan keranjang kosong.
Aku mengangguk
mantap. Kuraih keranjang itu. Lantas berjalan ria mencari pohon apel. Sesekali
meloncat-loncat layaknya anak kecil. Sejak kapan aku sebahagia ini? Kapan
terakhir kali aku meloncat kegirangan? Ha, entahlah.
Tep-
Langkahku
terhenti. Dari celah antarpohon itu, aku menemukan sosok. Terlihat samar
punggung dengan lambang Uchiha itu tengah bersimpuh. Aku mengerjap. Siapa dia?
Kalau dilihat dari rambutnya, pasti bukan Sasuke. Sejenak aku menghela napas
kecewa. Namun orang itu lebih terlihat seperti Kak Itachi. Rambut kucir itu
jadi ciri khas-nya. Sedang apa dia? Rasa penasaran membawaku lebih mendekat.
Semakin ke dalam, penerangannya kian redup. Dikarenakan pepohonan yang rimbun.
Menjadi penampang sinar matahari. Emeraldku terfokus pada bayangan itu.
“Oi, sudah
kubilang dia pasti akan menolaknya.”
Bicara dengan
siapa dia? Lekas aku mengendap-endap sembunyi di balik pohon besar. Sambil
sedikit menengok untuk menguping pembicaraannya.
“Coba kalau kau
bangun kembali.”
Apa maksudnya? Dia
bikin aku penasaran. Memangnya dia bicara pada orang seperti apa? Aku coba
menyembulkan kepala. Terlihat Kak Itachi ternyata sedang berbicara dengan
kuburan. Semerbak harum melati masih tercium. Tanda bahwa kuburan ini masih
baru.
Aku terkejut. Apa
itu? Sebuah karangan bunga dan kado itu…, yang tadi Kak Itachi berikan padaku,
kan? Kak Itachi memungutnya? Lalu, dia bawa ke kuburan ini, untuk apa? Terus,
kenapa tadi dia bilang yang aneh-aneh? Atau mungkin…
Tidak. Aku
enyahkan prasangka burukku. Aku belum melihat jelas nama yang terukir di batu
nisan itu.
“Haha, Baka
Otoutou, kau terlalu cepat pergi. Harusnya kau temui dulu gadis pink itu. Kau
bilang kalau kau ingin bertunangan dengannya.” bisa kudengar isak tangis di
sela tawanya yang hambar.
Tunggu, Baka
Otoutou katanya? Itu bukannya panggilan untuk adik? Siapa?
Tidak.
Tidak mungkin!
Aku berjalan
mendekat. Hanya untuk melihat nama itu. Meski aku sebenarnya takut kalau-kalau
prasangka-ku menjadi kebenaran. Aku kian dekat saja. Dan begitu aku bisa
melihat jelas nama itu. Aku terkejut setengah mati. Lututku melemas. Seluruh
tubuhku gemetar
Bila dieja,
tulisan yang terukir itu terntata Uchiha Sasuke.
Aku
menggeleng-geleng. Menampar sendiri pipiku. Takut hanya mimpi. Tapi bukan. Ini
nyata. Air mataku menggenang siap tumpah. Tak sanggup menerima semua ini.
Terlalu buruk. Sangat. “Tidak…! Tidak mungkin!” nadaku serak. Emeraldku
membulat tak percaya. Air mata itu mengalir membentuk parit di pipi. Batinku
sakit. Aku tak mau semua ini menjadi kenyataan!
Kak Itachi
menoleh. Sempat terkejut melihat kehadiranku. Keranjang yang kubawa malah jatuh
begitu saja. Saking lemasnya. Seluruh jariku gemetar hebat. Kubekap mulutku.
“Sakura…?!”
Aku berjalan lebih
dekat lagi. Ingin lebih jelas. Masih tak percaya. Benarkah ini? Aku masih
bertanya-tanya. Tak ingin percaya. Semuanya bohong. Harus bohong.
Aku terduduk.
Tanganku menyentuh tanah merah itu. Mencengkeramnya erat. Benci. Ini bukan
mimpi. Kenapa juga harus nama Sasuke yang diukir? “Hik, Hik!” aku terisak. Air
mataku berjatuhan membasahi tanah.
“Sa-ku-ra…, ini…”
Aku merunduk.
Menangis. Ini yang maksudnya pergi? Pergi dan takkan kembali? Tempat yang jauh?
Kenapa?! Kenapa
Sasuke harus pergi ke tempat ini?! Sasuke, batinku sesak. Aku hanya bisa
menggigiti bibir bawahku. Tak tahu harus bagaimana.
Tapi, apakah semua
ini salahku? Aku yang terlalu mengabaikannya? Aku menganggap perkataanya itu
hanya bualan semata? Ternyata benar. Fisiknya lemah, itu benar. Kenapa harus
benar, Sasuke?! “Sasuke…” gumamku di sela tangis.
“Sakura…”
kurasakan tangan Itachi bergerak hendak merangkulku. Segera kutepis dengan
kasar. Kutampakkan raut tak suka. Tanpa pandang bulu. Tak peduli dia yang
khawatir padaku. Emeraldku yang basah hanya menatap tajam padanya.
“Kenapa kau tak
bilang kalau Sasuke pergi ke tempat jauh?! Kau menyembunyikannya! Kau bukan
kakakku! Kau membuatku kecewa! Harusnya kau bilang dari awal kalau Sasuke sudah
tidak ada!” tangisku semakin menjadi kala aku mengucapkan kalimat terakhir.
Getir hatiku. “Kau bilang dia bertunangan lalu pergi! Kau bohong! Bohong!
Jahat! Kau harus bilang kalau Sasuke sudah mati. Kau menyiksaku! AKU BENCI!”
kutekan kata terakhirnya. Nadaku serak. Amarah menggebu-gebu di hatiku. Ingin
kuluapkan. Semuanya.
“Maaf—”
“Kembalikan Sasuke
padaku! Kembalikan! Hiks, hiks. Kau jahat menyuruhku melupakan Sasuke! Sialan!
Uchiha sialan! Mana Sasuke? Dimana Sasuke?!” aku seperti orang yang kerasukan.
Kusentuh batu nisan itu. Menambah dukaku semakin dalam. Setiap kali kulihat
nama Uchiha Sasuke di batu nisan itu, aku terus dihadapkan pada kenyataan yang
buruk.
Dan karena si
Itachi, aku jadi berpikir tidak-tidak tentang Sasuke. Aku bahkan sempat membenci
Sasuke karenanya. Maafkan aku, Sasuke.
“Maaf, aku tak
ingin memberitahumu, karena aku takut kau menderita.” Itachi langsung
menerjangku. Memeluk dengan erat. Aku meronta. Meski kunciannya kuat, aku
mendorongnya lebih kuat lagi. Sampai tubuhnya tersungkur. Aku tak peduli. Dia
itu orang jahat bagiku.
“Menjauhlah
dariku! Kau ini pembohong! Aku benci! Aku benci! Kau yang menyuruhku melupakan
Sasuke! Jahat! Aku tak mau melihatmu lagi! Aku tidak mau! AKU TIDAK MAU MELIHAT
WAJAHMU LAGI!” napasku tersenggal. Akhirnya aku melemas. Kutaruh kepalaku di
atas tanah itu. Dahiku menempel. Masih terisak.
“Kakak…, maaf.”
ucapku lemah. “Aku tak bisa melihat Sasuke lagi. Sasuke, aku selalu
menunggumu.” aku mendongak. “Kau ingat saat kita pertama kali bertemu? Lalu kita
terikat sebagai guru dan murid. Waktu itu, senyumanmu adalah hal yang paling
kunantikan. Kau ingat saat kita berdua di atas salju? Kau ingat sekeras apa
dirimu? Hei, apa kau tidak akan memanggilku 'Jidat' lagi? Bangunlah, Sasuke.
Aku ingin kau memanggilku dengan sebutan itu. Hei, nilaiku jadi jelek lagi. Kau
mau kan menjadi guruku lagi? Menjelaskan lalu tidur dan membiarkanku
mengerjakan tugas? Ayo, lakukan lagi, Sasuke.” pipiku basah dengan air mata.
“Sakura, sudah.”
“Dia mendengarnya.
Aku yakin dia mendengar. Dia tak pernah mengabaikanku. Setidaknya dia
menjawabnya dengan jawaban singkat. Atau hanya alis yang terangkat.” timbalku.
“Sasuke-senpai! Aku memanggilmu Sasuke-senpai! Cepat marahi aku, Sasuke!”
“Sakura…,”
“Lihat! Aku sedang
memperhatikanmu! Cepat pukul aku! Suruh aku jangan terus memandangmu.”
Itachi menyentuh
bahuku halus. Aku merunduk. “Hiks, hiks…” menangis. Terisak lagi. Menyakitkan.
Jelas Sasuke sudah mati. Tak ada jawaban. Ataupun reaksi. Aku bersikeras tak
ingin percaya.
“Aku hanya bilang
apa yang Sasuke bilang. Kau boleh menangis sekarang. Tapi jangan
berkepanjangan. Carilah kebahagiaan. Jangan lampiaskan emosimu pada siapapun
dan benda apapun. Atau kau akan kehilangan semuanya. Sakura, kau tahu, pesan
terakhirnya sebelum dia pergi? ” onyx Itachi mulai basah.
“Katakan padanya, kalau aku mencintainya.
Jangan biarkan dia jatuh cinta padaku. Biarkan aku saja yang berjuang. Biar
saja aku yang merasakan pahitnya perjuangan.”
Kepalaku pusing.
Pandanganku kabur. Tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap. Yang kulihat hanyalah
kegelapan. Aku pingsan. Kegelapan menyelimutiku. Mengintaiku. Kesuraman. Aku
tak bisa lagi melihat warna-warni yang biasa berpendar di mataku. Dunia ini
bukan apa-apa. Tanpa dia, semua ini terlihat suram.
Percuma untuk
membuka mata pun, semua tidak akan terlihat berkilauan. Sasuke pergi membawa
hatiku yang terdampar di hatinya. Memberi kepedihan atas kepergiannya yang tak
terelakan. Aku memang tak bisa menerima semua ini. Mendadak jadi gadis bisu
yang tak pernah tersenyum. Kalau saja Itachi memberitahuku dari awal, mungkin
aku takkan separah ini.
...
Karangan bunga
yang Sasuke titipkan itu sekarang sudah menjadi pajangan di kamarku. Dan
hadiahnya yang berupa kalung berliontin bunga sakura itu sekarang melingkar di
leherku. Anggaplah sebagai kenangan terakhir. Ah, tidak. Hapus kata 'terakhir'
itu. Terlalu menyakitkan. Cukup sebagai kenangan saja. Agar aku tak lupa, kalau
aku pernah mengenal seseorang yang membuat banyak perubahan dari diriku. Dia
yang membuatku tahu bagaimana berwarnanya ketika mencintai seseorang.
-oOo-
The End
-oOo-