Senin, 21 Desember 2015

SasuSaku fanfic : "After Spring"

After Spring

Pair: SasuSaku
Disclaimer: Naruto (c) Mashashi Kishimoto
Rated: Teen

One shot, Sakura POV.
Hurt/comfort, romance.
--------

Pada akhirnya aku akan selalu membenci musim gugur.
Nyatanya tak ada yang lebih indah dibanding musim semi yang penuh dengan bunga bermekaran. Setelah musim semi dan musim panas berlalu, jadi sering hujan.

--------
Hari akhir pekan ini akan menjadi hari yang sangat spesial bagiku. Mungkin.
Sudah lama aku dekat dengan Sasuke, sekitar 2 tahunan. Dan baru seminggu ini kami menjalin hubungan berpacaran. Bagaimana tidak? Ternyata Sasuke juga merasakan hal yang sama. Aku menyukainya. Dan dia menyukaiku. Untung saja aku berani mengungkapkannya. Kalau tidak, maka aku dan Sasuke tidak mungkin berpacaran seperti ini. Kita pasti saling menunggu sedangkan tak ada yang berani memulai diantara kita. Ini sebuah keberuntungan bagiku. Karena tak semua wanita itu punya keberanian untuk memulai. Dan tak banyak pula wanita yang ditolak cintanya. Karena rasa yang berbeda. Memang beruntung sekali diriku..

Dan sekarang, Sasuke mengajakku untuk berjalan-jalan di Kota. Kedengarannya menyenangkan. Baru kali ini dia mengajakku ke tempat ramai seperti itu. Biasanya kan dia suka tempat yang sepi.
Nah.. ini baru kencan yang paling kusukai. Pasti nanti akan seru. Ahhh membayangkannya saja aku sudah.. ahhh.. pokoknya sekarang aku harus bersiap-siap. Berdandan agar terlihat lebih cantik. Biar Sasuke klepek-klepek.. hihi.

“Apa aku sudah terlihat cantik?” tanyaku pada diriku sendiri sambil mematut diri di depan cermin. Melenggakkan tubuhku ke kanan dan kiri. Mempertimbangkan apa aku cocok memakai baju blusan merah maroon ini.
Kurasa, ada yang kurang. Rambutku terlihat polos. Ahh iya.. aku baru ingat.. bandana-nya ketinggalan. Haduhh baru kali ini aku lupa soal bandana
“Nah.. sudah. Sakura cantik seperti bunga sakura..” pujiku sambil memakai lipgloss rasa cherry. Tipis saja. Supaya bibirku tidak kering.
Setelah kurasa tak ada yang kurang, aku pun menenteng tas kecil merah mudaku. Sedikit berburu-buru. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 . Sasuke janjinya jam setengah 9. Jadi aku harus cepat.

Drrrtt...drrrttt...drrrttt..
Ponselku bergetar. Sasuke menelponku ternyata. Kupercepat lagi langkahku. Mungkin dia sudah menungguku.
“Ya? Sasuke?” aku mengangkat telponnya.
“Dimana? Lama sekali. Baka!” seperti biasa, nadanya terdengar jutek. Tapi sekarang kedengarannya dia sudah kesal. Aku hanya terkekeh
“Hehe. Maaf. Aku di jalan. Kau sudah sampai di sana?”
“Belum. Untuk apa aku menunggumu sendirian di tempat ramai seperti itu. Cih.”
“Lalu, kau dimana sekarang?”
“Di rumahku. Kau kesini saja.”
“Eh?”
“Hn?”
Aku mengernyit. Mengapa aku harus ke rumahnya sekarang? Aku kan sudah..
Eh? Aku sudah berjalan sampai mana sekarang? Kulihat papan penunjuk jalan bertuliskan 'Jl.Rikudou' Lah? Itu berarti aku lupa belok. Harusnya tadi aku belok kanan untuk masuk ke Jl.Sennin.
Aku berhenti sebentar. Menoleh ke belakang. Ternyata belokkannya kelewat. Kenapa bisa-bisanya aku lupa seperti ini? Atau aku keasyikan telponnan dengan Sasuke, ya?
Aku pun memutar balik arah.

“Haduh. Sasuke, kenapa aku harus ke rumahmu?” tanyaku.

Anehnya, Sasuke diam. Tak bergeming. Aku cek layar ponselku. Ah pantas saja. Dia sudah menutup telponnya. Uh! Dasar! Belum selesai bicara, main tutup aja.
“Ih! Sasuke! Pantat ayam!” aku memaki-maki ponselku seakan itu adalah Sasuke.

---------

Sampai aku di depan rumahnya. Hanya menunggu di depan gerbang. Aku diam sejenak sambil mengutak-ngatik ponsel untuk menghubungi Sasuke.
“Pantat Ayam! Aku udah di depan gerbang! Cepet!” kataku setelah dirasa sudah terhubung. Aku masih marah soal yang tadi.
“Jidat sayang.. kok marah gitu sih?..” nada Sasuke terdengar menggoda. Meletupkan jantungku. Membuat pipiku blushing. Deg deg deg! Seringkali Sasuke seperti ini.
“Uhm. Maaf. Yang tadi itu Kak Itachi.” dan seringkali juga Sasuke menyanggahnya seperti ini. Dia bilang yang bicara tadi itu kakaknya. Selalu saja begitu. Padahal aku lagi terbang terbangnya. “Sekarang, ada apa?” nadanya datar seperti biasa. "Krauk- krauk" hmm sepertinya dia sedang memakan camilan.

“Aku sudah di depan rumahmu. Cepatlah..” kataku mulai resah.
“Apa? Depan rumah? Cepat sekali? Aku saja masih belum mandi.”
Aku terbelalak. Apa maksud ucapannya barusan? Belum mandi?! Bukannya tadi dia bilang padaku cepat kesini? Sedangkan sekarang dia belum mandi?
“Hah?! Belum mandi?!”
“Ya. Mau masuk rumah atau nunggu di luar?” tawarnya
“Err.. m-memangnya di rumahmu ada siapa?”
“Kak Itachi.”
“Umm.. yasudah, deh.” aku lebih memilih masuk ke rumahnya daripada berdiri di sini lebih mirip seperti yang memaksa sumbangan.
“Yasudah apanya?”
Eh? Dasar! Malah nanya, lagi..
“Ya! Aku masuk rumah!” kataku sedikit sebal.
“Oke. Nanti kakakku yang mengantarmu masuk.”

Aku menutup telponnya. Sekarang tinggal menunggu kak Itachi. Aku hanya melipat tangan di dada. Bersender di gerbang sambil mengetuk-ngetukkan kaki.

Krek krek..

Mungkin itu suara kak Itachi yang sedang membuka kunci gerbang. Aku pun menghindar dari gerbang itu.
Seorang lelaki berambut raven berkucir membukakan gerbangnya. Menyambutku dengan senyuman manis. Ternyata sifat Itachi berbanding terbalik dengan sifat Sasuke.
“Ayo, Sakura-chan” ajaknya.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku hanya mengekor di belakangnya sambil mengedarkan pandangan melihat ternyata halamannya luas. Selama ini, aku belum pernah masuk rumah Sasuke. Kalau ke sini pasti aku hanya diam di depan gerbang karena takut oleh orangtuanya. Ya tepatnya aku malu.
“Sudah berapa lama kau berhubungan dengan adikku?” tanya Itachi berbasa-basi. Menyamakan langkahnya denganku.
“Baru seminggu.” jawabku.
“Ohh..” Itachi membulatkan bibirnya “Sasuke selalu bercerita tentangmu padaku, lho!”
Mendengar itu, aku langsung berbinar-binar. Deg deg! Pipiku blushing “Oh ya?! Bagaimana? Maksudku, apa yang diceritakan Sasuke tentangku?!” aku berantusias.
“Katanya cerewet, manja, jidatnya lebar, warna rambutnya aneh.”
Mendengar itu aku langsung sweatdrop. Kenapa Sasuke bercerita kejelekkanku? Ish.

“Tapi Sasuke menyukai semua itu. Dan Sasuke sangat mencintaimu.”
Fiuh~ aku menghela nafas lega. “Hmmhh..Tapi Sasuke itu tidak romantis.”
“Hal-hal yang menurutmu tidak romantis, menurut Sasuke itu romantis. Contohnya saja tadi pas telponan sama kamu. Dia bilang padaku 'ini yang namanya romantis..'”

Ohh jadi seperti itu, ya?
Ahh pipiku blushing. Ya ya.. kalau menurut Sasuke itu romantis, menurutku juga romantis.
---
“Nah, Sakura.. Tunggu di sini, ya..” ucap Itachi.
Aku duduk di sofa putih ruang keluarga. Tampak sepi. Semua di sini rapi, dan bersih. Keren, rumah segede ini bisa rapi sekali. Mungkin mereka punya pembantu. “Biar kakak buatkan jus jeruk, ya.”
“Ah, tidak usah repot-repot, kak.” sanggahku ketika Itachi hendak pergi ke dapur
“Hei, kau ini kan calon adik iparku. Kalau ke sini lagi, jangan sungkan-sungkan. Anggap saja rumah sendiri” jelasnya.
Aku jadi blushing. Calon adik ipar? Mungikin masih jauh, ya pemikiran tentang itu. Tapi, aku pun pernah membayangkannya. Hanya sekedar berandai-andai.
“Tunggu, ya.” ucapnya sambil berlalu.

Kakaknya ini sangat ramah ternyata. Beda dengan adiknya yang acuh tak acuh. Bayangkan saja bagaimana kalau sifatnya ini ditukar. Sasuke peramah, dan Itachi yang dingin.
Ahhh Sasuke pasti tambah tampan~

“Ini. Sering-sering ke sini dong..Sakura..”
Aku terenyah. Itachi kembali membawa 2 gelas jus jeruk lantas duduk di sofa sebelahku.
“Iya.” Aku hanya tersenyum sambil menyesap jusnya.
Kutengadahkan kepalaku. Terdengar suara musik yang diputar dengan volume tinggi di lantai atas. Memang nadanya terdengar merdu, slow. Aku jadi sedikit menikmatinya “Siapa yang memutar musik ini, kak?” tanyaku sambil menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama.
“Oh, ini.. lagu kesukaannya Sasuke. Dia suka memutarnya dengan volume full ketika mandi.”
“Jadi, dia kalau mandi sambil joged-joged gitu?” aku sedikit menahan tawa. Membayangkan seorang Sasuke yang dingin itu bergoyang di dalam kamar mandi. Haha.
“Haha. Mungkin seperti itu. Aku tak tahu.” kami pun tertawa. Mungkin sama sama membayangkan itu beneran terjadi.

Aku edarkan lagi pandanganku. Lalu berhenti pada 4 tiket pesawat yang tergeletak di meja kecil. “Mau liburan, ya kak? Kemana?” tanyaku ingin tahu.
“Ohh.. kalau itu sih..”
“Aniki!! Aniki!!!”
Itachi tak sempat melanjutkan omongannya. Tersangkal oleh suara teriakkan yang berasal dari lantai atas.
Siapa yang berteriak itu? Suaranya sampai terdengar ke sini. Berlombaan dengan suara musik.
“Ada apa Sasuke?!!” Itachi berteriak. Sempat membuatku menutup telinga.
Oh, ternyata yang memanggil itu Sasuke. Ya iyalah ya.. kenapa aku belajar bodoh, sih? Kan Sasuke bilang tadi di rumah ini cuma ada mereka berdua. Kalau Itachi di sini ya berarti Sasuke lah yang manggil manggil.
“Handukku yang warna biru mana?!”
“Yang itu dicuci! Pakai saja punya kakak!”
“Cih! Tidak mau! Punyamu bau! Ada gambar beruangnya juga! Pokoknya gak mau!”
“Duh~ jangan manja, Sasuke! Sakura sudah menunggumu dari tadi! Cepat!”

Aku memicingkan mata. Berisik sekali ternyata di sini. Mana musik volume full, 2 adik kakak saling berteriak. Hadehh. Untung saja tidak ada yang memasak. Kalau ada, ahh pasti sudah jadi pasar deh rumah ini.
“Hehe. Maaf ya Sakura. Di sini emang selalu gini setiap pagi.” kata Itachi terkekeh.
“Iya tidak apa-apa.” aku tersenyum. Sambil sedikit mengusap-ngusap telinga kananku.

----

Kupandangi jam yang menempel di tembok rumah menunjukkan pukul 10.00 . Sasuke masih belum ada? Aku torehkan wajah ke belakang. Sosok lelaki tampan berambut raven chicken butt itu berjalan menuruni tangga. Ugh.. terlihat keren. Aku terpana melihatnya.
“Yo!” ajak Sasuke ketika sampai di lantai dasar. Aku bangkit. Pipiku blushing melihat paras tampan dirinya.
“Aku pergi, kak.” pamitku pada kak Itachi yang santai menikmati camilan.
“Ya. Bersenang-senanglah.” kata Itachi


----
--
-


“Ayo~ Sasuke, sini..” ajakku. Menarik tangan Sasuke.

Memasuki Game Center kedengarannya seru. Kuharap, Sasuke tak menolaknya. Sejak tadi aku sudah membayangkan ini. Bagaimana kalau aku dan Sasuke bermain pump pasti asyik. Atau main tembak-tembakkan itu. Atau sekalian main kuda-kudaan kayak anak kecil gitu. Haha. Sasuke mungkin gak akan mau lah.

“Ayo, Sasuke. Main ini. Ini seru, lho. Aku dan Ino sering battle.” kataku sambil memasukkan koin untuk memainkan pump
“Kau saja. Aku tidak bisa.” sanggah Sasuke.
Memang sejak aku menunjuk tempat ini kelihatannya Sasuke tidak suka. Namun mungkin dia memaksakan diri.
“Yaahh~ kalau tidak denganmu kan jadi tidak seru.” dengusku. Kuperlihatkan wajah murungku. Berusaha membujuknya agar dia mau bermain. “Ayolah, Sasuke. Sekali saja..” Aku memohon penuh

Dia palingkan wajahnya sekejap. Lantas kembali menatapku “Baiklah. Jika itu maumu.” kata Sasuke akhirnya.
Dia melepas alas kakinya. Mulai menaiki bench. Wajahnya terlihat pasrah sekali. Aku jadi optimis, pasti aku akan menang melawan Sasuke. Pasti kali ini aku akan menang. Setelah sekian banyak kekalahanku ketika battle dengan Ino, kali ini aku pasti menang.
“Oke. Bersiaplah untuk kalah, Pantat Ayam!” Ucapku optimis. Aku memilih-milih lagu untuk bermain.
Easy? Medium? Or hard?
Umm.. yang mana, ya? Yang easy saja aku sudah banyak kalah. Apalagi kalau yang medium. Kalau aku memilih easy, pasti Sasuke akan menang.

Baiklah.. aku pilih yang.. yang hard saja!! Ya! Agar lebih menantang!!
“Eh?! Sakura?! Kau gila, ya?! Kenapa milih yang hard?! Aku ini masih pemula!!” Sasuke jadi gelisah rupanya. Sepertinya ia malu kalau ia tidak bisa. Apalagi di sini ramai sekali.
Aku hanya balas menatap jahil.
“Haha. Biar saja! Wle!” aku menjulurkan lidah meledeknya. Padahal diriku sendiri juga tidak bisa yang hard.

Musik pun dimulai. Kami berpegang erat ke besi yang dibuat khusus sebagai pegangan. Letaknya berada di belakang kami.

Jrengg.. Jrengg...

“Kyaaa~ kenapa cepat sekali?!!!”
Aku sendiri kewalahan. Banyak sekali missed-nya. Gak ada yang perfect. Satu pun. Haduhh..
Kenapa pijakkannya selalu salah?! Ninjak panah ini, eh malah kalah cepat.

Aku lirik Sasuke. Dia pun sama kewalahan. Ekspresinya serius sekali. Kakinya bermain-main. Dan, sepertiku…pijakkannya selalu salah. Banyak yang missed.

“Stooooopp~” seseorang tiba-tiba teriak. Seorang gadis berumur sekitar 10 tahunan meminta kami berdua untuk berhenti. Ekspresinya terlihat sebal. Memangnya salah kami apa? Apa kami sudah merebut bagiannya?
Kami refleks berhenti bermain
“Bukan begitu cara mainnya. Harus bertahap. Kuasai dulu yang mode easy, lalu medium, nah sesudah itu baru yang hard.”

Aku jadi serasa lebih muda darinya. Diajari seperti ini. Apalagi orang-orang memusatkan perhatian pada kami.
Sasuke turun dari bench. Memakai kembali alas kakinya. Terlihat sebal. Mungkinkah aku yang membuatnya dipermalukan seperti ini?
Duh.. anak ini.. ibunya mana sih?
“Oh..Oh.. i-iya. Hehe. Aku mengerti. Kalau begitu, silakan main. Aku akan pergi.” aku tersenyum malu. Segera saja aku turun dan menarik tangan Sasuke keluar dari Game center yang mulai membosankan dan bikin malu ini.

“Fiuhh~ ya ampun, maaf ya Sasuke. Karena aku, kau jadi dipermalukan seperti tadi.” kataku merasa bersalah. Kami diam sebentar di situ.
Sasuke menatapku marah. Dia sepertinya ingin marah. Mulutnya terbuka mungkin hendak memarahiku. Aku sudah bersiap menerima amarahnya, menyipitkan mata. Tapi kemudian ia mengatupkannya. Meredam amarah. Dia tarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya “Baiklah. Tidak apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanannya.”
Dia menggenggam tanganku. Satu tangannya dijejalkan ke dalam saku. Kami berjalan bersama. Aku mulai tersenyum. Sekarang dia bisa mengendalikan amarahnya. Ini membuatku tenang.

“Oh, iya. Aku lihat tadi ekspresimu lucu sekali. Kau terlalu serius memperhatikan panah-panahnya. Haha.” aku memecahkan suasana. Tertawa mengingat kembali wajah Sasuke tadi.
“Cih! Kau sendiri seperti maling yang takut ketahuan” ia tertawa kecil.
Selama dia tertawa, aku akan tersenyum. Selama dia senang, aku akan bahagia.
Aku suka melihatnya tertawa seperti ini. Untuk itu, ketika ada waktu senggang, pikiranku selalu melayang. Memikirkan bagaimana caranya membuat tawa Sasuke ini pecah. Lelucon apa yang bisa membuatnya tertawa lepas?
Andai saja aku pandai bergurau, aku pasti bisa setiap hari melihat tawanya ini.
“Sekarang, mau ke mana?” tanyanya. Membuatku terenyah.
“Umm.. karaoke, bagaimana?” tawarku.
Sasuke mengernyit. Kelihatannya dia tidak suka. “Ah, kalau kau tidak mau, tidak apa-apa” kataku. Aku sedikit kecewa sebenarnya kalau Sasuke menolak.

“Tidak. Kedengarannya juga seru. Aku mau, kok.” ucap Sasuke akhirnya. Membuat mataku berbinar-binar. Senang rasanya.
“Ahhaha~ Arigatou-na..”

Kulihat pipinya sedikit blushing. Tersenyum tipis. Mungkin dia senang melihatku bahagia.

----

Kami ber-karaoke bersama. Menyanyikan lagu kesukaan Sasuke. Yang sering diputar ketika mandi. Suaraku mungkin terdengar fals ketika nada tinggi, dan itu membuat tawa kami pecah seketika. Aku memang tak pandai bernyanyi. Tapi entah kenapa Sasuke begitu menikmatinya sampai beberapa kali lagu itu diputar ulang. Aku memaksanya untuk bernyanyi. Hanya sepatah lirik di bagian intro dinyanyikannya dengan merdu. Namun dia kembali memaksaku untuk meneruskan nyanyiannya.

Benar-benar menyenangkan. Ini kencan yang sangat istimewa. Baru kali ini dia mengikuti semua keinginanku.

“Apa kau merasa senang?” tanya Sasuke usai ber-karaoke. Kami berjalan bergandengan tangan. Mencari-cari tempat yang menyenangkan lagi.
“Aku sangaaat senang. Kapan-kapan kencannya seperti ini lagi, ya.. ini seru.” pintaku

Entah kenapa wajah Sasuke beralih menjadi sendu.
“Lelah, ya? Maaf, aku udah maksa kamu buat ngelakuin hal yang kamu gak suka..” kataku merasa bersalah.

“Tidak. Selama kau menikmatinya, aku akan menemanimu. Aku suka semua ini, kok.” ucapnya kembali tersenyum

“Jangan bohong. Sasuke. Aku tahu dirimu. Kau kan tidak suka tempat seperti ini.”

“Kau tidak percaya padaku?” pertanyaan Sasuke itu membuat hatiku luluh. Bukannya tak percaya. Tapi… ahh sudahlah.

“Aku percaya padamu… Sayaang~” Untuk pertama kalinya aku memanggil Sasuke dengan sebutan 'Sayang'. Membuat pipi kami berdua blushing. Aku mendekap erat lengan kekar Sasuke.

“Kau suka kencan yang seperti ini?” tanya Sasuke
Aku mengangguk mantap.
“Itu berarti, kau tidak suka kalau aku mengajakmu ke danau atau tempat-tempat yang menurutmu tidak menyenangkan sama sekali?”
Pertanyaannya barusan membuatku terperangah. Mengapa dia menanyakan itu? Dengan ekspresi datar seperti biasa?
“Eh? Bukan itu maksudku. Kemana pun kau mengajakku berpergian, aku selalu merasa senang.”
Sasuke menyunggingkan bibirnya.

“Baiklah. Sekarang, mau ke mana lagi?”
“Arena bermain anak-anak..! Kita naik ayunan! Cuss~” aku berjalan bersemangat menuju arena bermain yang terletak tak jauh dari sini. Tapi mungkin, Sasuke tidak mau.  Tangannya mendadak seperti batu kala aku berusaha menariknya
“Jangan ke sana.” kata Sasuke dengan alis mengernyit.
Aku cengo sebentar. “Baiklah~ kita ke bioskop!” ajakku bersemangat.
Kali ini, Sasuke tersenyum. Mengikuti ajakkanku.

----
---

Menonton film horror bukanlah pilihan. Sudah terlalu mainstream bagi pasangan-pasangan yang ingin mencuri kesempatan dalam kesempitan. Kami lebih memilih menonton kartun yang bisa membuat kami tertawa, apalagi diselingi oleh adegan romantisnya. Ini menyenangkan. Kami tertawa, tangan kami saling bertautan. Seakan tak ingin lepas. Dan, karena pop corn yang dibeli kami tak sengaja jatuh saat kami tertawa terbahak-bahak, kami pun mengganti camilannya dengan buah cherry. Aku sengaja membawa cherry dari rumah.

Setelah film-nya selesai, Kami berkeliling lagi. Mencicip-cicipi jajanan, memilih-milih aksesoris. Sampai tanpa sepengetahuanku, dia membelikanku sebuah bandana pink. Aku menyukainya. Saat kucoba pakai di atas kepalaku, menggantikan bandana merahku, ternyata aku terlihat lebih cantik dengan bandana pink yang ini. Asal ngaca di kaca mobil  yang terparkir, akibatnya aku dimarahi oleh pemiliknya yang ternyata berada dalam mobil. Aku terbelalak, aku tarik saja Sasuke dan pergi jauh-jauh dari mobil ini.

Sampai akhirnya kami beristirahat di sebuah bangku taman. Dengan hamparan rumput hijau yang menghias. Dan senja yang muncul menemani kami. Ternyata ini sudah sore. Bersama Sasuke, waktu terasa cepat. Tidak seperti weekend yang biasanya. Berdiam diri di rumah sehari rasanya sudah seperti satu tahun.

“Aku suka bandana ini. Arigatou, Sasuke-kun..” ucapku sambil mendekap lengan Sasuke. Menyenderkan kepalaku ke bahunya.
“Hn.”
Berdua… di bawah langit senja… sangatlah menyenangkan.
Musim gugur ini terasa cepat sekali datangnya. Padahal baru kemarin musim semi dan musim panas.
Musim semi yang penuh dengan perjuangan. Musim panas penuh dengan rasa cinta. Dan musim gugur sekarang yang penuh dengan kebahagiaan. Ya.. kebahagiaan yang belum pernah aku dapatkan di musim gugur sebelumnya.
Padahal musim gugur itu aku selalu saja merasa sedih. Waktu itu juga aku pernah menangis gara-gara Sasuke tidak mau sekelompok denganku. Tepat di awal musim gugur. Entah kenapa selalu saja diawali dengan tangisan. Itu mengapa saat itu aku benci musim gugur.

Tapi sekarang… telah berbeda. Dia membuatku menyukai musim gugur setelah musim semi. Ya… aku suka…

“Oh, iya. Ini aku ada sesuatu buat kamu.” aku tersadar. Mulai meronggoh saku baju blusan-ku. Mengeluarkan 2 buah sarung tangan berwarna biru. “Khusus untuk Sasuke tersayang…”

Sasuke tersenyum. Ia mengambil sarung tangannya lantas mencobanya. Tapi saat ia lihat di bagian telapak tangannya ada gambar boneka beruang. Sasuke mengernyit. Aku malah terkejut. Baru tahu ternyata ada gambar beruangnya. Huft~ bagaimana ini?
“K-kenapa ada gambar beruang?” Sasuke tampak tak suka.

Aku menggigit bibir bawahku “Eeh.. aku juga tidak tahu. Kamu sih tadi tiba-tiba datang. Jadi aku ambil asal aja. Asal warna biru. Kalau kamunya tahu kan jadi gak surprise. Maaf ya..” aku merasa bersalah.
Ia akhirnya tersenyum. Menggosok-gosok kedua tangannya “Tapi ini hangat. Aku suka. ” katanya.
Aku sedikit lega kalau dia memang menyukainya. “Arigatou~” ucapku
“Hh? Memangnya kau kira siapa yang harusnya berterima kasih? Hn?”
Eh.. hehe.. aku terperangah jadinya. Hanya terkekeh. “Oh iya ya.. hehe. Lupa.”
“Arigatou”
Aku balas tersenyum.

Tapi… kenapa udaranya jadi terasa dingin seperti ini? Aku lupa tidak membawa jaket. Bajuku pun tak berlengan. Terpaksa aku memeluk diriku sendiri. Sekaligus kode untuk Sasuke, agar Sasuke memberikan jaketnya seperti dalam drama-drama TV.

Sasuke akhirnya mengerti. Ia melepas jaket birunya. Menenggerkannya ke tubuhku. Hmmhh ini romantis. Sekali. Ia lantas merangkulku dengan erat.
Deg deg deg…
“Aku tak sabar… menanti musim dingin tahun ini bersamamu.”ucapku.
Sasuke tak bergeming.
Ini…
Benar-benar…
Musim gugur dan senja yang…
Istimewa…

-----
----

Waktu berlalu begitu saja. Sudah waktunya untuk pulang. Hari sudah mulai malam. Ibuku pasti sudah khawatir.

“Terima kasih untuk hari ini. Sasuke.” kataku ketika Sasuke mengantarku sampai gapura. Rasanya berat untuk melangkah menjauhi Sasuke. Aku masih ingin bersamanya.
“Hn. Maaf aku sering membuatmu kesal.”
Baru kali ini aku mendengar kata maaf darinya.
“Ahhaha~ tidak usah minta maaf. Justru lebih sering membuatku kesal, lebih menyenangkan lagi hubungan ini. Jadi tidak monoton. Aku suka.” kataku tersenyum simpul

Sasuke ikut tersenyum.
“Ah! Iya.. ini jaketmu..” aku baru ingat kalau jaket Sasuke masih melekat di tubuhku. Aku hendak membuka resletingnya
“Tidak. Untukmu saja. Agar di musim dingin nanti, kau tidak kedinginan.” cegahnya. Dia meresletingkan kembali jaket yang baru setengah kubuka barusan.
“Hmmh. Aku pulang, ya. Sasuke. Oyasumi-ne…” pamitku.
“Oyasumi, Sakura-chan.” dia mencium sekilas pipiku. Aku tersenyum melambaikan tangan. Memaksakan kaki ini untuk berbalik dan pulang. Kenapa hatiku terasa berat sekali untuk melangkah pergi?
Aku menoleh lagi ke belakang. Sasuke masih di situ.
Entah kenapa aku... aku...
Aku ingin memeluknya!!!

Aku berlari lalu menyambar Sasuke. Menenggelamkan diriku ke dalam pelukannya. Dan entah karena apa air mataku mengalir, dan mulai terisak di sana. Sasuke balas memelukku. “Kenapa?” tanya Sasuke.
“Aku tidak ingin pergi darimu. Aku… Aku… entah kenapa aku merasa kau akan pergi jauh dariku. AKu tak ingin itu terjadi. Aku ingin terus bersamamu. Selamanya.” aku merasakan hal yang aneh. AKu tak mau melepas dirinya.
“Hey. Tenanglah. Aku masih di sini. Di sini untukmu. Jangan nangis. Kumohon. Aku tidak mau melihat air matamu ini.” dia sedikit menghapus air mataku. Aku masih terisak di dalam pelukannya.
“Aku takut kau pergi jauh. Aku merasakan hal yang aneh. Entah kenapa.”
“Sstt.. sudah. Cepatlah pulang. Ibumu mungkin sudah khawatir, sekarang. Berhentilah menangis, Sakura. Musim gugur ini ingin melihatmu tersenyum.” ia melepaskan pelukannya dengan lembut. Menghapus air mataku dengan jempolnya.
Aku tersenyum tipis. Meski sebenarnya air mata ini tak tertahankan.
“Besok, kau akan sekolah, kan? Kumohon. Kau harus sekolah. Aku selalu menunggumu. Kehadiranmu menyemangatkanku.”

Dia menyibakkan poni yang menghalangi mataku. Menyentuh keningku dengan 2 jarinya. “Selama kau menikmatinya, aku akan menemanimu. Sekarang, pulanglah. Aku akan selalu mencintaimu… Sakura-chan”

Kenapa aku…
Aku begitu takut kehilanganmu?
Aku takut kau pergi.
Mungkin aku…
Terlalu menyayangimu…
Sasuke-kun…

-----
----

Hari senin adalah…
Musuh para pelajar. Dimana mereka harus mengikuti upacara setelah sebelumnya bersenang-senang di akhir pekan yang singkat.
Tepat jam 07.00 bel berbunyi. Untunglah hari ini tidak ada jadwal upacara. Jadi kami hanya duduk manis di bangku masing-masing menunggu guru datang.
Tidak. Aku sendiri bukan menunggu guru. Tapi, aku menunggu seseorang yang sering duduk di bangku kedua di belakang. Pemuda raven chicken butt itu belum terlihat batang hidungnya. Kemana dia? Gelisah rasanya. Jangan sampai dia tidak masuk.
“Hey!!” aku terkejut bukan main. Ino mengagetkanku. Ino baru datang ternyata.
“Sasuke mana?” aku langsung bertanya seperti itu.
“Kata Naruto sih Sasuke gak akan masuk. Izin.”
“Kau menanyakan Sasuke lewat Naruto?”
“Naruto sendiri yang bilang padaku. Tenang saja, Saku, tidak usah cemburu. Kau sudah lupa ya? Kalau aku itu sekretaris di sini?”
Aku baru ingat. Ino itu kan sekretaris. Kenapa aku harus cemburu padanya?

I jam…
2 jam…
3 jam…
Terus kupandangi bangku kosong itu. Ada yang kurang. Bodohnya aku terus berharap dia datang. Mungkin dia ketiduran atau apa gitu.. Sudah jam 10.00 ini sudah tidak mungkin lagi Sasuke datang.

Bel istirahat membebaskan kami dari pelajaran yang monoton. Aku berjalan keluar kelas. Entah mau kemana. Arahku tak jelas. Pikiranku melayang.

Dari jauh, terlihat samar di koridor seorang wanita berambut raven lurus. Warna rambut yang sama dengan Sasuke. Aku sedikit mengingatnya. Mungkinkah itu… itu bibi Mikoto?! Ibunya Sasuke. Aku berlari kecil menujunya. Takut bibi Mikoto keburu pulang. Dia sudah mulai melangkah. Cepat-cepat aku memanggilnya “Bibi Mikotoo~!”

Dia menoleh. Tersenyum. “Ehh.. Sakura? Kemana saja kau? Sudah lama bibi tidak melihatmu. Kau tambah cantik, ya sekarang.” ucap Mikoto membingkai pipiku dengan satu tangannya. Aku tersenyum.
“Bibi sedang apa di sini? Mengapa Sasuke tidak masuk sekolah?” tanyaku to the point.
“Ah.. apa Naruto tidak menyampaikannya kalau Sasuke izin tidak sekolah?” Bibi Mikoto mengernyit
“Err.. Naruto menyampaikannya. Tapi… tapi… aku mau tahu…”
Mikoto tersenyum “Sasuke membantu ayahnya berkemas. Jadi, tidak sekolah. Itachi juga begitu.”
Berkemas? Memangnya mau kemana keluarga Uchiha ini? “O-oh.. lalu, Bibi sedang apa di sini?” tanyaku. Pandanganku fokus pada map-map yang dibawa oleh Bibi.
“Ohh… ini… Bibi sudah mengurus kepindahan Sasuke.”

Deg!

Pindah?
“M-maksud Bibi?” aku jadi resah. Berharap ini hanya iming-iming.
“Begini… ayah Sasuke, Fugaku… meminta kami sekeluarga pindah ke New York. Karena Fugaku akan bekerja di sana. Dan karena tidak bisa jauh dari kami. Untuk itu, kami akan pergi.”

Pindah?
Ke New York?
Secepat ini?
Kenapa Sasuke tidak bicara padaku?

Air mata mulai membendung “B-berapa lama?” tanyaku gemetar
“Entahlah. Bibi tidak tahu. Selama Fugaku bekerja di sana.”

Aku diam. Menunduk. Pasti akan lama. Kenapa harus pindah segala?
“Umm… sebenarnya ini sudah dibicarakan jauh-jauh hari. Tapi Sasuke selalu menolak. Dan sekarang sudah tidak ada waktu lagi. Kalau begitu, Bibi pamit ya..”
Ia hendak pergi. Namun aku mencegahnya “tunggu!”
Ia kembali menoleh
“Umm… kapan dan jam berapa berangkatnya?”
“Besok. Jam 06.00”

Aku mengangguk pelan. Besok... akan kusempatkan untuk menemui Sasuke. Rasanya nihil kalau aku mengharapkan sebuah keajaiban datang. Toh, ibu Sasuke sudah mengurus surat kepindahan sekolah.

SASUKE~!!
Bukankah sudah kubilang aku tak sanggup jauh darimu?… lalu kenapa kau pergi sejauh itu dariku?!! Kau kira New York itu dekat?!!

Hik…Hik…Hik…

Air mata ini mengalir dengan deras. Sekarang, siapa yang akan menghapus air mataku ini? Siapa yang akan menghiburku?
SASUKE~!!
Aku tak rela kau harus pergi sejauh itu!!!

------
----
--

Selesai kubuat surat izin untuk ke sekolah. Hari ini ayah dan ibu pergi. Kak Sasori pun menginap di rumah Kak Kisame. Aku ingin menemui Sasuke sekarang. Sudah jam 05.00 . Aku harus bersiap berangkat.
Dengan baju blusan merah maroon dan bandana pink. Kurasa ini sudah cukup. Aku tak punya waktu lama. Aku harus menitipkan surat ini kepada Hinata. Dia yang rumahnya paling dekat denganku. Setelah itu, aku harus cepat-cepat ke Bandara.



Tunggu aku…
Sasuke…
Aku akan segera menemuimu…
Aku mencintaimu. Aku tidak rela kau pergi begitu saja.

Sampai di bandara, aku mengedarkan pandangan. Mencari-cari sosok lelaki berambut raven itu. Di tengah lalu-lalangnya orang-orang.
Itu.. itu dia.. fiuhh~ syukurlah aku belum terlambat. Dia sendiri tampak duduk menunggu. Sambil memainkan gadgetnya. Aku berlari kecil menghampirinya.

“Sasuke?!” panggilku. Dia menoleh. Mengerlingkan pandangannya dari gadget. Dia tampak terkejut melihat kehadiranku yang tiba-tiba
“S-Sakura?” ia mengernyit.
Aku duduk di hadapannya. Menangis sambil tersenyum. Dia masih kebingungan rupanya.
“Hiks…Hiks… kenapa? Kenapa, Sasuke?! Kau bilang kau tidak akan pergi? Lalu… lalu kenapa sekarang kau… hiks… hiks…” aku terisak. Aku mencengkeram celana jeans-nya.
“Kenapa kau tiba-tiba datang ke sini?”
Aku terperangah “jadi, kau tidak suka kalau aku menyusulmu ke sini? Memangnya kau pikir aku akan diam saja ketika aku tahu kau akan ke New York?”

Sejenak kami terdiam.

“Jangan menangis.” kata Sasuke sambil menghapus air mataku dengan jempolnya “ini sebabnya aku tak memberitahumu. Aku tidak tahan melihatmu menangis seperti ini. Sebenarnya saat kita jalan-jalan aku ingin pamitan. Tapi aku sudah tahu, kau pasti akan menangis. Dan aku tidak mau merusak kebahagiaanmu.”

“Hiks… hiks… kenapa kau pergi? Kumohon jangan pergi. Aku sudah memohon kan waktu itu. ”  “Jadi ini… ini yang membuatku tiba-tiba menangis waktu itu karena tak bisa jauh darimu. Aku merasakan hal aneh waktu itu.”

Dia beralih duduk di sampingku. Mendekapku. Membiarkan aku terisak dalam pelukannya.

Aku kemudian menegakkan badan. Menatap Sasuke lekat-lekat “Kau benar-benar ingin pergi?” tanyaku
“Hn.”
“Tanpa memikirkanku?”
“Sebenarnya aku tak ingin membuatmu menangis seperti ini. Tapi ayah dan ibu mendesakku.”
Aku menghela nafas kecewa.

“Yo! Sasuke! Aku akan menunggumu di sana!” seseorang berambut raven berkucir memanggil Sasuke sambil menggiring sebuah koper besar. Kami menggulirkan sesaat pada Itachi yang tampak sudah siap itu. Itachi tersenyum lalu pergi.
Kami berdiri.
 kembali saling menatap
“Aku harus pergi, Sakura…” Sasuke tampak berat meninggalkanku.
Aku tak bisa terus menahannya. Kini aku harus membiarkannya pergi. “Tapi… berjanjilah padaku bahwa kau akan kembali lagi… untukku. Aku akan menunggumu” ucapku
“Aku tidak tahu kapan kami akan kembali ke sini. Tapi… jika kau menemukan lelaki yang lebih baik dariku, lupakan saja aku. Lupakan saja hubungan kita. Lupakan kenangan kita.”
Aku menggeleng cepat. Bagaimana aku bisa melupakan dia yang telah aku perjuangkan? “Tidak. AKu akan menunggumu.”

Dia memelukku. Untuk yang terakhir kalinya… entahlah…
Pelukannya begitu erat

“Kalau kau begitu mencintaiku…,tak merelakan aku pergi…, aku akan cepat kembali. Sebisa mungkin. Aku akan merindukanmu.” katanya.
Dia melepas pelukannya lembut. Mengecup keningku sekilas.
Air mataku mengalir dengan deras.
“Aku mohon. Lepaslah aku dengan senyumanmu. Bukan dengan tangisan…”
Aku tersenyum paksa dalam tangisan. Bagaimana bisa aku menahan air mata ini? Siapa yang tahan kalau orang yang dicintanya akan pergi sejauh itu?
Aku berjingjit meraih pipinya lalu menciumnya sekilas. Dia tersenyum.
“Aku pergi…”pamitnya. Sekilas aku melihat air mata yang terbendung. Dia menahannya agar tidak tumpah, mungkin.

Dia perlahan mulai pergi. Aku hanya melihat punggungnya yang mulai menjauh. Rasa sesak di dada. Ingin menangis. Ingin menangis. Aku merenggut jantungku. Ah, dia menoleh sebentar. Aku lambaikan tanganku. Dan dia kembali berjalan. Sungguh berat. Mungkinkah dia juga merasa berat meninggalkanku?

Aku kejar dia. Aku melambaikan tangan lagi kala keluarga Uchiha itu mulai memasuki pesawat.

Ini pertemuan terakhir…
Sasuke…
Aku akan merindukanmu…
Aku sangat mencintaimu…
Aku tak merelakan kau pergi…
Karena itu……
Cepatlah kembali, SASUKEEE~!

Pada akhirnya aku akan selalu membenci musim gugur ini sekaligus mengenang kebersamaan kami waktu itu.
Nyatanya tak ada yang lebih indah dibanding musim semi yang penuh dengan bunga bermekaran. Setelah musim semi dan musim panas berlalu, jadi sering hujan.

Kupikir, musim gugur kali ini akan indah bersama Sasuke. Kenangan yang kami buat ternyata itu adalah sebuah perpisahan. Musim dingin yang aku idam-idamkan bisa kulewati bersama Sasuke… nyatanya itu hanya khayalan. Sekarang, Sasuke pergi… siapa yang menemaniku? Siapa yang akan membuatku kesal lagi? Siapa yang akan menghapus air mataku?

Kapan aku bisa melihat tawamu lagi? Kapan aku bisa menggenggam tanganmu lagi? Kapan aku akan memanggilmu dengan sebutan 'Pantat Ayam' lagi?
Aku akan merindukan saat-saat itu…
Sasuke……


   Berhentilah menangis... Sakura. Musim gugur ini ingin melihatmu tersenyum...



        -------END--------

Selasa, 01 Desember 2015

contoh naskah drama 7 orang

5 Kalung untuk sahabat
Gita. Seorang gadis pendiam dan pemalu yang sangat baik. Bahkan keempat sahabatnya pun sangat menyukainya. Selalu membantu disaat kesulitan, dan bersuka cita saat bahagia. Apalagi mengetahui Gita mengidap penyakit yang membahayakan. Kanker otak. Itu membuat sahabat-sahabatnya lebih memperhatikan Gita. Tapi suatu hari, Gita yang malang ini terkena fitnah besar.
Via : “Hik..hik..hik” (menangis tersedu-sedu di bangku)
Gita,Sani,Putri,dan Dina datang menghampiri
Sani : “Via? Kamu kenapa?” (duduk di sisi Via)
Putri : “kenapa? Ada masalah lagi sama si Rio itu?” (ikut duduk di sisi Via)
Via : (mengangguk) “Gue benci sama lo,Gita!”
Gita : (tercengang) “hah? Aku?” (kebingungan)
Via : “Iya,elo! Gue benci! Lo yang hancurin hubungan gue sama Rio,kan?!”
Sani : “Apa? Gita ngancurin hubungan Via?”
Gita : “Nggak. Aku gak ngelakuin apapun..”
Via : “Bohong!!” (mengeluarkan beberapa kertas yang berisi surat dari tasnya lalu melemparkan semua kertas itu ke wajah Gita)
Gita : (membawa satu lembar dari beberapa kertas itu. Lalu membacanya)
Jelas di kertas itu tertulis nama pengirimnya Gita dan tertuju untuk Rio. Juga tanda tangan Gita di bawahnya. Tak hanya itu,Rio pun membalasnya dengan kata-kata manis.
Via : “Itu buktinya! Sekarang,lo mau jelasin apalagi,heh?!” (sambil membentak)
Gita : (tercengang) “Aku gak pernah ngirim surat kayak gini,Vi. Sumpah..”
Via : “halah! Bohong lo! Rio jadi mutusin gue hanya karena lo! Dasar! Gue gak nyangka ternyata lo itu nikung gue!”
Sani,Putri : (menatap sinis Gita)
Via : “Gue gak mau denger penjelasan lo! Buktinya disitu ada tanda tangan lo!”
Gita : (menunduk)
Via : “keluar lo dari sini! Gue gak sudi nganggap lo sahabat lagi! Pergi lo!”
Gita : “tapi…”
Via : “KELUAR!!!” (sambil berdiri menunjuk pintu kelas yang terbuka lebar)
Gita : (berjalan keluar kelas dengan wajah sendu)
Rian : (berdiri di dekat pintu sambil menertawakan Gita pelan. Tampak senang)
Gita : (menunduk sambil menangis)

Di koridor sekolah, Gita berpapasan dengan Rio
Rio : “Gita? Mau kemana?”
Gita : (menggeleng pelan)
Rio : “kalau mau ke perpus, aku ikut. Gimana?”
Gita : (menggeleng lalu pergi)
Rio : (berteriak) “Gita!! Aku belum selesai bicara!” (memegang tangan Gita) “ada apa? kok nangis gitu?”
Gita : (tak menjawab. Melepaskan tangan Rio lalu pergi)

Gita pergi ke kamar mandi setelah menyadari hidungnya mengeluarkan darah. Mimisan. Ia terus membersihkan darahnya di wastafel.
Gita : “kenapa Rian bisa sejahat ini? Aku kan gak suka sama Rio..”
Dina : (tiba-tiba masuk menghampiri Gita) “Gita?”
Gita : (menoleh) “Dina?”
Dina : “mimisan lagi,ya? Nih.. aku bawa tissue” (memberikan tissue)
Gita : (tersenyum) “makasih..”
Dina : “umm..Gita..aku gak percaya deh,kalau kamu yang ngehancurin hubungan Via sama Rio..”
Gita : (menggendikkan bahu sambil menghapus jejak darah di sekitar hidungnya) “maaf,ya.. aku emang gak ngelakuin semua ini. Tapi…udahlah.. biarin aja..”
Dina : “eh? Gak bisa gitu donk. Ini kan salah paham. Biar aku yang jelasin ke Via,ya..”
Gita : “gak perlu,Din. Percuma..” (sambil memegang kepalanya. Tampak merasa pusing)
Dina : “kamu gak apa-apa kan?!” (Dina cemas)
Gita : (mengangguk)
Gita : (tubuhnya lunglai. Ia tiba-tiba pingsan)
Dina : “ya ampun!! Gita?!!” (membopong tubuh Gita lalu membawanya ke UKS)

Sampai di UKS, Gita berbaring di ranjang. Mulai siuman. Ia melihat Rio yang sudah berdiri di sampingnya
Rio : “Gita!! Kamu gak apa-apa kan?!” (Rio cemas)
Gita : (menggeleng)
Rio : (menghela nafas lega) “syukurlah..”
Sani,Putri,Via,Dina : (tiba-tiba masuk)
Rio : (menoleh ke Sani,Putri,Via,dan Dina)
Via : “ohh..lagi berduaan ya? Maaf ganggu!” (mendelik tajam lantas pergi begitu aja)
Sani : “eeh?! Via?! Mau kemana?! Kita baru datang,kan?!” (ngejar Via)
Putri : (ikut-ikutan ngejar Via)
Gita : “sana pergi! Rio!!” (membuang muka)
Rio : “eeh? Aku diusir?” (heran)
Gita : (mengangguk)
Rio : (menoleh sebentar ke Dina yang masih berdiri di ambang pintu)
Dina : “pergi aja.., sana kejar si Via!”
Rio : (memandang sekilas Gita lalu pergi)
Dina : “Git? Kamu gak apa-apa kan?”
Gita : “aku lagi pengen sendiri,Din. Jadi,tolong keluar dulu..”
Dina : “tapi..”
Gita : “aku lagi pengen sendiRian!”
Dina : (murung. Lantas pergi)
Tiba-tiba Rian datang. Hanya diam di ambang pintu
Rian : “haha.. apa gue udah cukup buat elo menderita? Ahh..gue rasa masih kurang.. oke..gue bakal bikin lo jadian ama Rio.. biar suasananya makin panas! Biar lo dibenci sahabat lo sendiri!”
Gita : (hanya diam menatap Rian sinis)
Rian : “karena waktu itu lo pernah bikin gue malu di depan orang-orang, gue mau balas dendam ama lo! Lo harus bayar atas perbuatan lo waktu itu! PUAS LO!!” (menyeringai lalu pergi)
….

Hari-hari berlalu beGitu saja. Gita semakin dijauhi oleh teman-temannya, kecuali Dina. Dengan beban pikiran seberat ini, membuat kesehatannya semakin menurun. Apalagi dirinya tak punya biaya untuk melakukan kemotheraphy. Sudah satu minggu ia terus berbaring di rumahnya. Tubuhnya terasa lemas sekali. Dina memutuskan untuk menjenguk Gita. Namun terdahului oleh Rio. Rio sengaja bolos sekolah demi menjenguk Gita.
Rio : “gimana sama keaadaan kamu? Ada yang sakit?” (dengan nada cemas sambil duduk di sisi Gita)
Gita : (membuang muka)
Rio : “hei…kenapa kamu jadi cuek kayak gini?”
Gita : (menggeleng)
Rio : “Git… aku sama Via putusnya baik-baik,kok..bukan karena apa-apa. Cuma ini kan masalah hati.. aku kan gak bisa maksain hati buat cinta ke Via..”
Gita : “gak perlu ngomong kayak Gitu! Lagian aku gak punya perasaan ke kamu!”
Rio : “ta-tapi.. aku sayang sama kamu,Git..” (memegang tangan Gita namun segera ditepis)
Gita : “sama kayak kamu, aku juga gak bisa maksain hati..”
Krekk.. tiba-tiba Dina datang
Rio,Gita : (menoleh ke Dina)
Gita : “keluar dulu! Aku mau bicara sama Dina..”
Rio : (pasrah dan akhirnya keluar dari kamar Gita)
Dina : “Git..” (menghampiri Gita)
Gita : “ya?”
Dina : “umm..ini ada sedikit uang dari aku,Rio,dan sumbangan dari teman yang lain..buat biaya kemotheraphy..” (sambil memperlihatkan uang yang berjumlah 10.000.000)
Gita : (tercengang. Ia mengucek-ngucek matanya karena objek yang dilihat menjadi ada 2 bayangan) “a-apa?! tidak usah lah.. lagian kenapa juga harus minta sumbangan segala? Ngerepotin banget tahu”
Dina : “ihh… ini kan buat kamu.. cepet terima..”
Ucapan Dina terdengar samar di telinga Gita
Gita : “umm.. gak usah deh..”
Dina : “aku udah baik sama kamu..kok gak diterima sih?”
Gita : “a-apa? kamu bilang apa barusan?”
Dina : “aku udah baik sama kamu..kok gak diterima?”
Gita : “bukannya gak nerima,tapi..”
Dina : “tapi apa?”
Gita : (mengucek-ngucek kembali matanya. Penglihatannya semakin tidak jelas) “kok mata aku gini,ya?” (tiba-tiba penglihatannya tak berfungsi lagi. Semuanya jadi terlihat gelap di mata Gita) “loh,kok.. gelap ya? Din.. plis Din… jangan main iseng..”
Dina : “apa? lampunya masih nyala,kok…gak ada yang iseng.. atau jangan-jangan kamu….!!”
Gita : “kenapa Din?!” (mulai panik)
Dina : “buta?”(dengan suara lirih)
Gita : “apa? kamu ngomong apa barusan?” (Gita meminta pengulangan)
Dina : “buta?”(dengan suara normal)
Gita : (mulai menangis kemudian memeluk Dina) “Dina…..” (sambil terisak)
Dina : “ssstttt… ini.. uangnya aku simpan di sini ya… nanti kamu berobat,ya..” (menyimpan uangnya di meja)
Gita : “tapi..kamu bisa gak anter aku ke taman belakang rumah? Aku lagi pengen ke sana..” (pinta Gita sambil melepaskan pelukannya)
Dina : (mengangguk)

Di taman belakang rumah, Gita dan Dina duduk di bangku taman. Ditemani rimbunnya pepohonan.
Gita : “Din,aku punya sesuatu buat kita berlima..”
Dina : “apa?”
Gita : (meronggoh saku jaketnya. Mengeluarkan 5 kalung berliontin bintang hitam) “buat kita berlima”
Dina : (terkesima) “wahh..bagus… kamu yang beli?”
Gita : (mengangguk) “sayang banget.. aku gak bisa lihat kalung ini lagi..” (mulai meneteskan air mata)
Dina : (ikut menangis) “sini,aku pakein…” (mengambil satu kalungnya lalu memakaikannya di leher Gita)
Gita : (meraba-raba liontinnya) “kayaknya keren,ya..”
Dina : (memakai satu kalung di lehernya sendiri) “makasih,ya..”
Gita : (tersenyum) “kamu aja ya yang kasihin 3 kalung sisanya ini ke Sani,Putri,sama Via..”(memberikan ke-3 kalungnya ke Dina)
Dina : (mengangguk)
Gita : “Din, aku ngantuk” (sambil menguap)
Dina : “kalau Gitu,kita ke kamar lagi,ya..”
Gita : “gak mau..”
Dina : “kalau Gitu,sini..” (menyenderkan kepala Gita ke bahunya)
Gita : (memejamkan matanya) “aku minta maaf ya.. kalau aku sudah menyusahkan kalian..”
Dina : “iya..aku juga..” (memeluk Gita)
Gita : “aku gak bisa tidur kalau gak ada lagu pengantar tidur”
Dina : “hmm? Nina bobo?”
Gita : “yang lain..”
Dina “oke…” (menyenandungkan sebuah lagu)
Dina : “Git,tadi, di sekolah, Sani,Putri,sama Via sudah tahu siapa sebenarnya dalang dari semua ini..ternyata pelakunya Rian. Mereka taDinya mau ke sini bareng,tapi..katanya ngerjain dulu tugas. Dan Rian ditangani sama BP. Jadi,sekarang kamu gak perlu khawatir. Yang lain bakalan datang ke sini..”
Gita : (diam. Tak bergeming)
Dina : (terus menahan tubuh Gita yang perlahan terasa berat) “udah tidur?” (Dina melepaskan pelukannya) “Git?” (menggoyang-goyangkan tubuh Gita namun Gita tak bangun-bangun) “Gita?!!” (mulai panik. Ia menepuk-nepuk pipi Gita namun tetap tak bangun. Biasanya orang yang tidur tak begini. Wajah yang membiru. Dan terasa kaku) “Gita…!!!!!!!” (teriak histeris mengetahui jantung Gita sudah tak berdetak lagi) ternyata diamnya gita tadi artinya ia menghembuskan nafas terakhir..


-oOo-

Story by me !
semoga bermanfaat, gaiss:)