Sabtu, 30 Juli 2016

Come Back, Please...


Judul: Come Back, Please…
Author: Annadekorin
Disclaimer: Naruto(c) Mashashi Kishimoto
Rating: T
No. Prompt: #8
Kategori: SasuSaku AU
Word: 6.434
Summary:[S-Savers Contest: Banjir TomatCeri] Waktu itu, kau memintaku untuk menunggu di taman. Dengan syarat lulus ujian. Tapi, sekarang dimana dirimu? Bukankah kau berjanji membawakanku karangan bunga dan hadiah? Mana janjimu? Aku terus menunggumu.

Angin musim dingin berdesir. Menelusup ke rongga-rongga tubuhku. Di atas hamparan salju putih, aku berbaring. Memejamkan mata sesaat. Coba untuk ikut mendinginkan otak yang mulai memanas usai latihan soal.

Ini salah satu cara yang kulakukan untuk mengusir rasa lelah. Sudah berapa hari aku tak merasakan udara sejuk nan tentram seperti ini. Aku kebanyakan menghabiskan waktu untuk belajar dengan guru privat tampanku. Meski tampan, tapi serasa berada di neraka kalau berguru dengannya. Dia sudah seperti malaikat maut yang siap menyiksaku jika aku melakukan kesalahan. Tapi mendadak sangat baik ketika aku berhasil mencapai target yang ditentukan.

“Hey!”

Aku menghirup semerbak harum papermint kala sepatah kata itu terucap. Entah dari mulut siapa.

“Heh! Jidat!”

Kedengarannya sumber suara itu jaraknya tak jauh dari tempatku berbaring sekarang. Kalau coba untuk mencerna kembali suaranya, terdengar familiar. Ya aku kenal…
Tapi… siapa ya…
Gurukah? Mungkin iya. Aku coba mengerjap-ngerjap. Samar terlihat bayangan sepasang mata onyx.

Set!

Tubuhku mendadak tegang. Mataku membulat sempurna. Kala aku baru sadar siapa yang berada di hadapanku saat ini. KYAAA~
Aku terkejut bukan main. Ditambah lagi wajah guruku itu sudah berada tepat di depan mataku sekarang. Jarak yang terpaut sangatlah dekat. Jantungku memicu berdegup kencang. Apa yang harus kulakukan, Tuhan…?!

Paras rupawannya, hidung yang mancung, sorot mata tajam seperti elang, dan bentuk bibirnya yang menggoda…
Oh, Tuhan~ dia sangat tampan jika dilihat dari dekat seperti ini.

“Apa yang kau lakukan di sini?! Aku mencarimu tadi.”

Emmhh~
Kucium lagi wangi papermint itu. Menggoda sekali. Dia pakai pasta gigi apa ya?
Ah, tapi sekarang bukan itu masalahnya. Rasa-rasanya jantung ini mau meledak. Sampai kapan akan begini, Senpai? Aku sudah tidak bisa mengontrol jantung dan endusan napasku yang mulai mengacau ini.

Aku jadi teringat saat dimana pertama kali aku bertemu dengan Guru. Persis seperti ini. Bedanya hanya waktu itu saking kagetnya, jidatku membentur jidatnya. Karena terlonjak. Saat itulah dia memanggilku 'Jidat'. Dan tanpa disangka, dia ternyata adalah seorang Uchiha. Ibuku yang memintanya untuk mengajariku.

“Ayo berdiri.” Akhirnya dia mulai memberi jarak. Menegakkan kepalanya dengan normal sambil mengulurkan sebelah tangan.

Aku terperangah. Lekas membalas uluran tangannya itu. Lalu mengambil posisi duduk.

“Waktu istirahatmu habis.” Ujarnya sambil menaruh kedua lengan di atas lutut. Dia dalam posisi berjongkok sekarang.

Kueratkan mantel pink yang melekat di tubuhku ini ketika semilir angin dingin menyerbu tubuhku. Jujur saja, aku merasa ngantuk sekarang. Tak ada niat lagi untuk melanjutkan belajar. Bisa dibilang try out sebelum mengikuti test masuk Konoha High Internasional School. Sungguh melelahkan.

“Ayo.” Ajaknya sambil bangkit.
Helaian rambut raven chicken butt-nya menari-nari tertiup angin. Juga mantel coklat yang ia kenakan tampak lebih besar dari ukuran tubuhnya. Tampan sekali. Dan nampaknya tak bisa kumiliki.

“Ya ampun, Senpai…, aku ini capek. Bagaimana bisa aku lulus kalau belajarnya seperti ini?!” Sergahku mulai resah.
“Sebentar lagi saja, Sakura. Dan harus berapa kali aku ingatkan, jangan panggil aku Senpai!” Ucapnya sambil sesekali memandangi arloji di tangannya.

Aku tak terbiasa menyebut nama kepada orang yang lebih tua dariku. Kalau tidak sebut Senpai, aku sering memanggil nama keluarga yang disandangnya.

Aku menghela napas. “Baiklah, baiklah, Uchiha-san.” Kataku pasrah sambil bangkit. Menyibakkan rok mini yang agak basah. Aku sengaja memakai stocking hitam dari paha sampai ke ujung kaki. Agar tak kedinginan. Ditambah balutan kaos kaki dan sepatu.

Sret.

Sasuke mengeluarkan sebuah kacamata berbingkai hitam di bagian atasnya. Lalu ia menenggerkannya di atas hidung mancungnya itu. Ahh~ Dia jadi sangat tampan. Rasa-rasanya aku meleleh bak lilin. Sorot mata onyx masih tajam. Dalam hati aku berdecak kagum. Ingin sekali mengutarakan padanya bahwa aku terpesona.

“Ayo,” Sasuke menarik tanganku.
Ahh~ musim semi sudah datang ya? Disaat orang-orang kedinginan, dan salju tebal yang menyelimuti kota Tokyo ini membuat suhu berubah drastis menjadi -28. Tapi aku sendiri malah merasa musim dingin telah berlalu. Berada dalam genggamannya, aku akan selalu merasa hangat. Aku ingin terus begini.

“Sudah kusiapkan buku-buku matematika untuk kau pelajari.”
Lekas aku mengangguk. Setuju. Lamat kuperhatikan siluet wajahnya dari samping. Dia lebih tampan dengan kacamata ini. Tentu tak sampai menutupi sorot matanya yang tajam itu.

Bugh!

“Hyaa~!” Tiba-tiba saja satu pukulan melayang tepat mengenai kepala belakangku. Refleks tubuhku sedikit terhuyung kedepan. Aku merutuk, ini kan sakit. Apa dia tidak merasakan?! Ugh!

“Jangan terus memperhatikanku seperti itu!” Tegasnya dengan wajah datar.

Aku berdengus kesal. Sifatnya yang tak segan-segan ini memang menyebalkan. Tak terlalu sakit, sih kalau yang memukulnya adalah Sasuke. Hehe.


Blam!

Kami memasuki ruangan pribadiku. Perpaduan warna putih dengan biru muda yang indah mendominasi. Dan hampir setiap hari aku selalu membereskannya. Semenjak kami belajar di sini, aku jadi ingin selalu terlihat rapi. Meski sebenarnya aku pemalas. Beres-beres pun hanya satu kali seminggu.

Ah, sudahlah. Intinya, dulu aku itu cewek pemalas. Cuek akan penampilan. Sampai-sampai dulu itu tak ada satupun make-up di meja rias.
Dan ini mungkin adalah salah satu bentuk perubahan drastis dalam hidupku. Aku yang tomboy, mendadak feminin. Aku juga sengaja membeli beberapa make up. Itu semua demi Sasuke.

Beberapa foto kecilku dipajang rapi di dinding dengan bingkai elegan. Dan meja belajarku berada tepat di bawahnya.

Kami duduk. Menghadap meja yang sudah dipenuhi tumpukan buku tebal. Jujur saja, melihat itu saja aku sudah mual, pusing, rasa-rasanya maag-ku kambuh seketika.

“Nah, mari kita mulai.” Ujar Sasuke sambil membenarkan kacamatanya yang agak melorot itu. Lekas ia mengambil sebuah buku di paling atas. Jari-jemarinya mulai membuka helai demi helaian buku itu dan berhenti di sebuah halaman. Dia mulai menjelaskan pendahuluannya. Seperti yang kuketahui, kalau dia sedang menerangkan, suka asyik sendiri. Aku sendiri tak mengerti apa yang sedang dibicarakannya dengan nada yang cepat tanpa titik koma. Tapi sebenarnya bukan itu yang kuperhatikan, tapi siluet wajahnya dari samping tampak lebih keren jika sedang berbicara. “Kau mengerti?” dan dia selalu mengakhirinya dengan pertanyaan itu. Sasuke menoleh. Dan aku sempat tersentak.

Aku mungkin tak sempat mengontrol wajahku sendiri. Setelah kusadari setetes cairan aneh mengalir dari sudut bibirku, aku terenyah. Segera aku mengatupkan mulut yang termangap sedari tadi. Kuseka cairan itu. Lekas mencoba untuk tampil lebih menjaga image.
“Kamu ngomong apa? Aku gak ngerti, hehe.” dan akhirnya aku hanya terkekeh.

Sasuke mengerling sambil mendecakkan lidahnya. “Kerjakan saja itu! Aku mau istirahat!” dengan pasrah, dia memberikan buku paketnya padaku. Menunjukan sederetan soal pilihan ganda dan angka-angka yang membingungkan.

Sasuke sendiri malah dengan santainya beranjak lalu berbaring di ranjangku.
“Aku mau tidur. Kalau sudah selesai, tunggu sampai aku bangun. Sekarang kan hari terakhirmu belajar sebelum ujian.”
Selalu saja begini. Lama-lama aku bosan. “Menyebalkan! Kau ini biang tidur, ya?!” aku sedikit kesal.

“Sudah kubilang kan, fisikku lemah. Kau juga tahu kan aku bahkan sampai berhenti sekolah karena fisikku ini.” jelasnya sambil memejamkan mata.

“Ugh, kau bohong, kan?”

Bibirnya tersungging. “Dari mana kau tahu?”

Aku pun hanya menghela napas. Pasrah.

Sudah berapa kali dia menimbal dengan alasan itu. Dan kurasa itu hanyalah 'alasan' agar dia bisa istirahat. Menyebalkan sekali dia. Aku tidak pernah mempercayai alasan yang tak logis itu. Kalau memang fisiknya lemah, kenapa dia bisa bertahan di tengah hamparan salju? Ahha~ dia tak pandai berbohong. Dasar Sasuke-senpai!

Sebenarnya umurnya hanya beda beberapa bulan denganku. Tapi sekolahnya dua tingkat lebih tinggi dariku. Katanya, dia itu cerdas. Dia punya kelebihan. Bagi keluarga Uchiha memang sudah tak asing lagi. Orang-orangnya pada cerdas. Tapi, masa Sasuke berhenti sekolah hanya karena fisik lemah?
Ha~ kurasa itu hanya iming-imingnya saja. Tak mungkin siswa kelas 3 yang sebentar lagi mau tamat, malah keluar. Dasar tak pandai berbohong.
“Uchiha-san…” kataku lembut sambil duduk di sebelah tubuhnya yang masih terbaring. Damai dalam tidur. Aku sedikit mendekatkan wajahku padanya. Coba untuk memandangi sosok guru itu dari dekat. Sepasang mata indah masih terpejam. “Uchiha-san…” panggilku sekali lagi.

Alisnya mengerut. Dia tampak berat membuka kelopak matanya. Sasuke mengerjap-erjap. Berulang kali ia coba memfokuskan matanya padaku.

“Aku sudah selesai..” ucapku sambil tersenyum simpul.

Sasuke menggeliat. Kutegakkan badanku. “Kenapa kau membangunkanku? Argh~ aku masih mengantuk.” keluhnya sambil beralih posisi membelakangiku.

Sebenarnya aku tak tega membangunkannya. Karena selama ia tertidur, wajahnya tampak tenang. Aku senang memandanginya. “Gomennasai, Sasuke-senpai. Ini sudah malam..” jelasku.

Tubuh Sasuke yang awalnya lemas, mendadak jadi tegang. Dia terperanjat. Setengah badannya terangkat. “Sudah malam?!” tanya dia tampak terkejut. Onyx-nya membulat sempurna.

Aku mengangguk sambil mempertahankan senyuman manisku itu. “Kalau mau menginap, aku tak keberatan kok.”

Langit yang berubah menjadi hitam kelam dihiasi bintang-bintang serta cahaya bulan yang benderang. Aku tidak berbohong. Sungguh ini sudah malam, barusan saat aku menyibakkan gorden pun aku sempat melihat langit biru yang berubah menjadi kelam.

Segera Sasuke bangkit. Beranjak dari ranjangku. Saat ia hendak pergi, tiba-tiba ia merenggut kepalanya sendiri. Alisnya mengerut. Dan tubuhnya pun refleks terduduk kembali di kasur.

“Kenapa?!” aku mendadak panik. Dia tampak merasakan sakit yang tak tertahankan. Tidak mungkin jika hanya sakit kepala biasa. Dia sampai menjambak rambutnya seperti itu.

Sasuke merintih. “Argh- ambilkan tasku, Sakura…!” katanya dengan nada serak.

“Kau mungkin harusnya jangan langsung bangun tadi. Kau berbaring dulu sebentar. Ini kan akibatnya kalau langsung bangun. Pusing jadinya.” sambil membawakan tas hitam yang tergantung di kursi, aku menggerutu. Sudah tahu kalau baru bangun tidur jangan langsung bangkit, oeh ini malah nekad. “Nih..” aku menyodorkan tasnya.

Dan aku pun berinisiatif memberikannya segelas air putih. “Minum dulu, Uchiha…” Ucapku sambil menyodorkan airnya ke mulut Sasuke. Ia meneguknya sampai tak tersisa.

“Arigatou.” Sasuke menyeka bibirnya yang agak basah itu. Dan wajahnya terlihat lebih tenang sekarang. Tak ada beban, tak ada tekanan. Setidaknya aku bisa bernapas lega.

“Mau kuantar?” tawarku agak cemas sambil duduk di sampingnya.

“Tidak usah…, uhuk uhuk!” Sasuke terbatuk-batuk. Aku memegang halus satu pundaknya. “Mana hasil kerjamu tadi?” tanyanya.

“Eh iya. Sebentar.” aku beranjak mengambil buku paket di meja belajar. Lantas memperlihatkannya pada Sasuke sambil tersenyum percaya diri.

Dengan serius Sasuke menelaah soal demi soal yang telah kukerjakan. Aku tak ragu. Kali ini pasti lebih baik.

Selesai, Sasuke menggulirkan pandangannya padaku dengan intens. Dan satu senyuman tipis akhirnya mengembang di wajahnya yang rupawan itu. Aku merasa lega sekali.

“Masih sama.”

Eh? Aku mengernyit tak mengerti. Bukannya barusan ia senyum artinya hasilku bagus? Tapi kenapa dia malah bilang masih sama? Ditambah lagi dengan tampangnya yang mendadak datar. “A-apa…?” aku sungguh tak percaya. Padahal aku sudah bekerja keras. Dan aku yakin hasilnya akan baik. Kenapa… kenapa…? Arrgghh...!

Jujur, dalam hati aku merutuki diri sendiri.

Tapi tiba-tiba saja Sasuke mengangkat sudut bibirnya. Membentuk sebuah lengkungan indah. Memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi. Sambil tertawa kecil ia merengkuh tengkukku. Aku cukup tersentak. “Tidak…, Sakura. Hari ini ada peningkatan. Aku yakin kau akan lulus.” ucapnya menaruh harapan tinggi padaku.

Mungkin tanpa kusadari pipiku merona. Ini terlalu dekat, Sasuke~
Dia melepaskan rengkuhannya kemudian bangkit. Sejenak kami saling menatap.

Puk-

Sasuke memegang halus ubun-ubunku. Lalu wajahnya perlahan mendekat ke telingaku. Pipi kami saling bersentuhan. Deru napasnya terasa hangat. Meletup-letupkan rasa di hati. Memicu jantung berdegup dengan hebatnya.

“Berjuanglah. Kalau kau lulus, aku akan membawakanmu karangan bunga, dan…”
Sasuke memain-mainkan bandana merah yang melekat di kepalaku. “Sebuah hadiah.” lanjutnya yang lantas menegakkan kepalanya. Sungguh aku tak tahu bagaimana wajahku sekarang. Diluar dugaan.

Sasuke juga menorehkan sedikit senyuman sambil menepuk-nepuk lembut satu pipiku.

Perasaan apa ini…
“S-Sasuke… kau… manis…” kataku refleks.

Sasuke mengerling. Menurunkan tangannya sambil menghela napas. “Jangan banyak bicara. Aku mau pergi. Kita bertemu lagi nanti kalau kau lulus ujian masuk.” Jelasnya datar. Menepuk-nepuk ubun-ubunku sambil berlalu pergi. “Eh—” Sasuke berbalik lagi. Aku mengernyit.

“Apa?”

“Mau pelukan atau ciuman di bibir?”

Aku ternganga. Menatap tak percaya. Yang benar saja. Aku diberi tawaran membingungkan seperti itu.

“Cepatlah.”

Bagaimana bisa aku menjawabnya? Lidahku kelu. Gengsi kalau harus aku yang memilih. Jika bisa, aku pilih dua-duanya saja. Aku bingung. Apa kalau aku memilih cium, dia akan menciumku? Ya ampun, membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdegup kencang dan pipiku memanas. Bagaimana ini? Aku tak bisa mengungkapkannya.

Sasuke berdecak lidah. Ia meraih daguku. Bibirnya langsung menyambar bibirku. Aku tersentak. Dia melumatnya dengan cepat. Napasku tersenggal. Ini terlalu mendadak. Aku belum siap, kan. Terlalu dekat. Aku tak bisa melihat dengan jelas ekspresinya. Sepasang onyx itu terpejam. Ingin cepat menghindar, namun aku tak ingin ini berlangsung sekejap. Lebih lama lagi. Tak apa. Karena kecupan ini terasa hangat. Merasuk ke dalam jiwa. Sasuke merebut ciuman pertamaku.

Sasuke akhirnya menarik diri. Menyeka bibirnya. Aku hanya menggigiti bibir bawahku. Menyentuhnya agak basah. “Nanti, temui aku di taman sakura. Aku pergi.” pamitnya. Dengan cepat sosoknya menghilang dari pandanganku. Pintu berdebam kencang. Aku tak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku sekarang. Senang, berdebar. Ah, semuanya bercokol dalam hati. Karena tak mampu mengungkapkan, aku hanya tergugu.


Untuk pertama kalinya aku bersungguh-sungguh untuk mencapai ekspektasi. Dengan semangat yang tak biasa. Setiap kali senyuman itu muncul di benakku, aku seolah disihir untuk terus berjuang dan belajar. Kedengarannya konyol. Aku berlatih hanya untuk bisa melihat senyumnya serta mendapatkan hadiah yang ia janjikan. Khayalan-ku kian menggila. Membayangkan di musim semi nanti, di bawah bunga sakura yang bermekaran, seseorang datang padaku membawa karangan bunga dan kado spesial. Lalu menghabiskan waktu bersama dengannya. Berjalan keliling kota.

Ah, aku terlalu tinggi berharap. Haha, wajar untuk anak seusiaku. Kadang pikiran dibiarkan melayang hingga terhanyut dalam khayalan yang tak nyata.

Sampai di hari H. Ujian masuk diadakan serentak. Sambil terus merapalkan do'a, aku begitu yakin mengisi semua soal yang ada. Rasanya tanganku bergerak sendiri. Otakku mengalir. Semua yang diajarkan Sasuke tiba-tiba muncul begitu saja. Aku percaya diri. Sebagai murid dari pangeran tampan, aku tak boleh kalah. Kali ini aku optimis. Aku pasti dapat nilai yang besar.

Sampai saatnya bunga sakura bermekaran. Hamparan salju yang tadinya menumpuk sekarang perlahan terkikis karena sinar matahari. Beralih dengan tumbuhnya rerumputan hijau yang menjernihkan mata. Ditambah warna soft-pink yang mendominasi taman. Pohon-pohon sakura yang menjulang tinggi itu kini memberikan keindahan yang tak biasa. Seakan ada senyuman yang menyertai. Berhubung dengan pengumuman penerimaan siswa baru.

Aku berjalan riang menuju sekolah. Langkah kakiku lebih besar dari biasanya. Membiarkan rambut soft pink-ku mengombak-ambik. Tak lupa senyuman manis untuk awal musim semi yang manis. Tak peduli dengan pandangan mereka padaku. Aku hanya menghiraukan setiap tatapan heran itu. Seolah aku adalah orang yang paling bahagia di dunia ini.

Tak ambil lama, aku langsung menuju papan pengumuman. Hampir satu angkatan mengerumuni papan itu. Saling berdesakan dan mendorong. Hanya demi mengecek apakah namanya ada di daftar itu atau tidak. Aku berjinjit. Jarakku ke papan itu berkisar dua meter. Bagaimana mungkin aku bisa melihat jelas tulisannya. Beberapa kali aku coba menerobos, namun mereka tak memberi celah. Seperti ingin enak sendiri. Bahkan tak sedikit dari mereka malah belum puas jika hanya sekilas melihat namanya saja. Mereka berdiam diri sambil bergumam. Aku berdecak kesal. Aku kan ingin segera dapat hadiah dari Sasuke.

Akhirnya kuterobos saja. Meski banyak yang mendelik tajam padaku. Emeraldku menyapu daftar nama dan nomor peserta itu. Lalu terpaku pada nomor 292 atas nama Haruno Sakura. Mataku berbinar. Dalam hati aku ingin berteriak. Kubekap mulutku. Menahan napas. Jantungku memacu berdegup kencang. Tak terbayang bagaimana nanti Sasuke akan menemuiku. Aku bergegas keluar dari kerumunan.

Kakiku rasanya terbawa angin. Melangkah jauh. Semakin cepat. Tak peduli pada orang-orang yang memandangku heran. Aku tak sabar. Aku berlari ke taman sakura yang dijanjikan Sasuke. Lengkungan senyumku tak bisa memudar. Sasuke, aku datang!

Jauh di depan sana mulai terlihat warna soft pink yang mendominasi. Aku semakin kencang berlari. Memasuki kawasan taman sakura. Pohon-pohonnya berjajar di dua sisi jalan. Seolah menyambut orang yang ingin berkunjung dengan bunga indah yang memanjakan. Banyak keluarga yang ber-hanami di bawah pohon sakura. Aku mencari sosok Sasuke di tengah keramaian.

Di pertengahan jalan, aku diam sejenak. Napasku terengah. Aku duduk sebentar di bangku taman. Kukeluarkan ponselku. Mengetik sebuah pesan. 'Aku di taman. Kau dimana? Cepat ke sini. Kau penasaran kan, aku lulus atau tidak?' Kukirimkan ke nomor Sasuke.

Dengan perasaan paling bahagia, aku terus menunggunya. Sambil bersenandung ria. Di bawah pohon sakura.

Meski sampai malam menyapa pun dia tak kunjung datang. Aku masih menunggu dengan hati dilanda kegelisahan.

Di hari berikutnya, sepulang sekolah aku kembali ke taman itu. Dengan harapan tinggi bertemu Sasuke. Di bangku biasa. Berapa kali aku hubungi dia. Namun tak ada kabar. Dia tidak menunjukkan batang hidungnya. Sampai awan hitam membentang di langit, aku pulang dengan rasa kecewa. Sebenarnya, dia yang pembohong atau aku yang terlalu berharap?

Hal itu terus kulakukan. Hampir seminggu lebih. Dan masih tak ada kabar tentang Sasuke. Bukan hadiah yang kunantikan. Tapi kehadirannya. Dia membuatku cemas. Telepon tak diangkat. Sms tak dibalas. Bahkan di Line pun dia off. Apa harus kususul ke rumahnya? Yang benar saja. Uchiha itu keluarga terpandang. Aku harus merangkai kata-kata dulu sebelum berkunjung ke rumahnya. Kalau aku bicaranya tidak sopan, bisa-bisa aku ditendang dari rumahnya.

Baru pulang sekolah, aku sudah duduk manis di bangku taman. Aku masih menunggu Sasuke dengan perasaan yang sama. Selang beberapa detik, kupandangi layar ponselku. Hal yang selalu aku lakukan. Yang pertama kulihat adalah bar notifikasi. Nihil, tak ada pesan. Ataupun panggilan. Aku kerap kali menghela napas kecewa. Kusapukan pandanganku ke sekitar. Hanya ada orang-orang yang asyik bersenda gurau. Tak ada sosok berambut raven mencuat. Yang kutemui hanyalah…

Sosok yang berambut raven lurus! Dia berjalan dari arah kanan. Kucir rambutnya itu seakan sudah menjadi ciri khas. Dengan memakai kaos putih dibalut jaket yang dibiarkan terbuka, serta jeans belel. Ia membawa sebuket bunga. Dari garis wajahnya yang penuh keramahan itu terlihat familiar. Ya, dia Uchiha Itachi! Kakaknya Sasuke. Aku lekas bangkit. “Kak Itachi!” teriakku setengah senang.

Onyx-nya langsung memandang ke arahku. Kulambaikan tangan. Jarak antara kami tak terlalu jauh. Sejenak dia mengernyit. “Kakak!” aku berlari ke arahnya. Dia mungkin sudah lupa padaku. Karena itu, dia tak tersenyum. “Kakak mau kemana?” tanyaku basa-basi.

Sejenak onyx itu menelusuriku dari atas sampai bawah. Lalu terpaku pada bandana merah di kepalaku. Tak lama bibirnya membulat. Ber-oh. Dia baru mengenaliku. “Oh, Sakura-chan? Kau sudah besar, ya. Kemana saja kau ini?” dia tersenyum. Menepuk pipiku halus. Aku balas senyum simpul. “Ada apa?” kini aura lembut itu terpancar. Meski Kak Itachi lebih terlihat dewasa, dia tetap baik seperti dulu. Ya, waktu kecil aku pernah bermain dengannya. Bersama Sasuke pula. Namun karena kami jarang bertemu lagi sejak 10 tahun yang lalu itu, kami jadi agak pangling.

“Kakak mau kemana?” aku mengulang pertanyaan.

“Oh, ini, err sebenarnya aku sedang cari seseorang di taman. Tapi tidak tahu siapa.” jawabnya memasang tampang kebingungan.

“Hmm. Memang orang seperti apa yang kakak cari?”

“Entahlah. Kau sendiri sedang apa disini?”

“Emm, tidak ada. Err, anoo, belakangan ini aku tak melihat Sasuke-senpai. Kemana dia?”

Kulihat alisnya bertaut. Mungkin dia tak menyangka kalau aku akan menanyakan Sasuke. “Sasuke—?”

“Aku menunggunya.” aku merengut. “Dia berjanji kalau aku lulus, dia akan menemuiku disini.” hatiku merasa getir. Mengingat Sasuke sepertinya sudah tak mau peduli padaku. Aku berharap penuh bisa mendapat kabar dari Kak Itachi.

“Kau menunggunya?”

Aku mengangguk.

“Sayang sekali—”

Mendengar itu, aku terperangah. Baru sepatah kata sudah buat keringat dingin bercucuran. Apa maksudnya 'Sayang sekali' dengan nada yang tak menyenangkan itu? Ada sesuatu yang terjadi? Ya ampun, itu membuat hatiku bergetar. Buatku penasaran. Ada apa? Ada apa? Tolong, jangan bilang hal yang membuatku sakit. Aku tak siap menanggungnya.

“Dia—”

Kumohon, berilah aku kabar yang menggembirakan. Jangan membuat air mataku turun.

“Dia kan pergi.”

Aku ternganga. Tak percaya. Atau tak ingin mempercayainya. Air mata itu menggenang siap tumpah. Aku getir. “P-pergi? K-kemana?” aku terbata.

Kak Itachi terdiam cukup lama.

“Dia, dia pergi. Dia juga sudah bertunangan. Maaf, ya kami tak sempat mengundang. Acaranya mendadak, sih.”

Jleb-
Apa-apaan ini? Ini mimpi, kan? Jujur, seluruh tubuhku gemetar. Tak sanggup menerima kenyataan itu. Cukup pergi saja, tak usah bertunangan. Tak ingin percaya. Semua kenyataan ini harus bohong. Air mataku juga tak boleh menetes. Tahan. Tahan. Meski pandanganku sudah nanar.

“Sakura-chan? Kau tidak apa, kan?” dia seakan tahu perasaanku.

Rasanya sekarang aku ingin menjerit. Ingin kujambak rambutku sendiri. “K-kenapa secepat itu?”

“Dia tak ingin berlama-lama.”

“Dengan siapa? Siapa tunangannya?” desakku.

Onyx itu berpaling. Seakan enggan membuatku lebih menderita lagi. Bisa kulihat ada air mata yang menggenang di pelupuknya. Ada apa sebenarnya? “Aku pergi dulu, ya. Sakura-chan. Jangan terus menunggu Sasuke, ya.” dia tersenyum sebelum akhirnya pergi meninggalkanku. Walau kutahu senyuman itu palsu. Dia pasti menyembunyikan sesuatu.

Apa yang ia sembunyikan tentang Sasuke? “Kak Itachi!” panggilku kembali. Baru sadar, kepergiannya sudah terlalu jauh. Aku terus memanggil.

Namun nihil, dia tak menoleh. Entah tak dengar atau tak ingin melihat padaku. Untuk lari mengejar pun tak mungkin. Dia sudah pergi, bahkan sosoknya menghilang dari pandanganku. Tidak. Aku tidak boleh menyerah. Akhirnya aku bertekad. Lari sekuat tenaga. Aku tak boleh kehilangan jejak Kak Itachi sebelum aku percaya akan kabar itu.

Drap drap drap!

Sasuke, harusnya kau tak memberi harapan padaku, kalau akhirnya akan begini. Kau harus bertanggung jawab telah membuatku jatuh cinta. Jujur, aku tak pernah merasakan cinta setulus ini. Sasuke, kembalilah!

Samar di ujung sana terlihat sosok punggung tegap dengan jaket ber-bordir lambang kipas Uchiha. Rambut berkucir itu terjuntai ke bawah. “Kak Itachi!” aku berhasil memberhentikan langkahnya. Masih tak menoleh. Tapi kulihat satu tangannya itu mencengkeram erat karangan bunga mawar. Sampai membuat tetesan darah yang pasti menyakitkan. Tetes demi tetes itu jatuh menghantam tanah. Membuat genangan kecil berwarna merah bercampur tanah. “Apa yang Kakak sembunyikan? Bicarakan padaku. Semuanya. Bahkan hal yang paling menyakitkan sekalipun. Semuanya, hik, hik…” aku terisak.

“…” Kak Itachi masih terdiam. “Penjelasan tadi…, itu sudah cukup membuatmu sakit hati, kan? Jangan tanyakan hal lain lagi. Harusnya sekarang kau bersenang-semang dengan temanmu. Bukan menghabiskan waktu dengan menunggu adikku.” ujarnya. Tak melirik sedikit pun.

“Itu berarti ada yang Kakak sembunyikan! Beritahu aku. Untuk hal yang paling menyakitkan pun, aku harus tahu!” aku bersikukuh.

“Memangnya kau sanggup menanggungnya?”

Aku tergugu. Jujur saja, aku memang tak bisa. Tapi aku ingin tahu. Apa yang disembunyikan.

“Kakak tidak mau melihatmu menderita seperti ini. Kakak akan lebih senang kalau kau berbahagia dengan temanmu.”

“Apa itu artinya aku tak bisa berbahagia dengan Sasuke lagi?!”

Sejenak hening. Hanya terdengar isak tangisku.

“Kalau aku bahagianya hanya dengan Sasuke, bagaimana?” sambungku.

“Sebaiknya lupakan saja.”

Aku ternganga. Menatap tak percaya. Kata-kata itu membuatku tertusuk. Bagaimana bisa aku melupakannya? Sementara otakku diciptakan untuk mengingat.

Kakinya melenggang. Melangkah jauh. Dia pergi meninggalkanku lagi. Aku masih tertegun. Air mata itu sudah membentuk parit di pipiku.

Ingin aku menjerit
Berteriak
Kenyataan yang buruk memang sulit untuk diterima olehku. Butuh waktu untuk melupakan semuanya.

Aku berbalik. Pulang dengan serpihan hati yang tersisa.


Katanya, aku harus bahagia. Tersenyum. Tapi, apakah di saat seperti ini aku bisa seperti itu? Aku ini tak pintar berpura-pura.

Tentang Sasuke yang sudah bertunangan itu menjadi beban pikiran bagiku. Tatapanku kerap kali kosong. Kadang aku duduk di pojokan kamar. Lagi-lagi merenung. Untuk makan dan minum pun tak nafsu. Aku benar-benar stress. Ibu juga mencemaskan wajahku yang pucat. Dia memaksaku untuk makan dan minum obat, tapi aku tidak mau. Kurasa, aku baik-baik saja. Hanya otak saja yang terbebani.

Aku sampai bolos sekolah satu hari karena jatuh sakit. Terbaring di kasur seharian. Menggigil meski sudah dibalut selimut. Kelopak mata pun berat untuk dibuka. Rasanya semua yang kulihat itu bergoyang. Bikin kepalaku pusing. Terpaksa aku terus memejamkan mata dengan kompresan di atas keningku.

Ketika badanku sudah lumayan sehat, aku kembali masuk sekolah. Aku perlu sedikit pengalihan. Agar aku tak terhanyut dalam kesedihan. Seperti biasa, aku berjalan kaki menuju sekolah. Kepalaku masih agak pusing. Jadi cara berjalanku jadi sedikit beda.

Tiba-tiba saja sebuah motor ninja merah mendarat di hadapanku. Refleks aku berhenti sebentar. Si pengendara membuka helm full face-nya. Kukira, dia Sasuke. Ternyata bukan. Dia Kak Itachi. Satu tangan kanannya dibalut oleh perban. Mungkin bekas luka di tempo hari itu. Rambut kucir itu seakan jadi ciri khas. “Mau berangkat sekolah? Ayo, kakak antar. Sekalian pergi ke kampus.” tawarnya.

Aku berpikir sejenak.

“Err, tidak.”

“Ayolah. Kau sedang sakit, kan? Ayo, kakak antar.”

Dari mana dia tahu kalau aku sakit? Wajahku masih pucat? Akhirnya aku mengangguk. Duduk di belakangnya. Aku jadi tak enak padanya. Tapi, mesti bagaimana lagi, aku juga sudah tak kuat. Kepalaku terasa berat.

Kak Itachi bersiap. Dia memakai kembali helm-nya. Mesinnya dinyalakan. Langsung tancap gas. Kecepatannya cukup tinggi. Membuat rambutku menari-nari. Mataku terpicing menahan terpaan angin. “Err, di Konoha High School.” ucapku.

“Kakak sudah tahu.”

Aku tertawa hambar. Lucu juga diriku ini. Dia ini kan Kak Itachi. Pastilah tahu dimana sekolahku. “Maaf.”

“Aku senang kau sudah bisa tersenyum.”

“Iya.” dalam hati aku menggerutu. Aku ini sakit karena memikirkan Sasuke. Kak Itachi tak tahu hal itu. Dia pikir, aku bisa langsung tersenyum setelah mendengar kabar buruk itu? Air mataku menelesak turun. Kak Itachi malah mengingatkanku pada Sasuke. Dari kemiripan wajahnya saja buatku rindu setengah mati pada Sasuke. Kemana Sasuke? Dengan siapa dia bertunangan? Pertanyaan itu muncul kembali. Aku ingin sekali lagi melihat wajahnya.

Sampai di sekolah, aku turun dari motor. Lekas menyeka alur air mata di pipiku. Berpamitan padanya. Lantas berlari masuk kelas. Menyadari bel masuk sudah berbunyi.

Selama pelajaran berlangsung, pikiranku tak sepenuhnya memikirkan pelajaran. Kapasitas otakku tersita oleh Sasuke. Mengingat kenangan manis. Aku takkan bisa masuk sekolah ini kalau bukan karena dia. Dia adalah orang yang menjadi alasan untukku tersenyum. Alasan kenapa aku menjadi feminin. Mungkin sekarang aku harus menanamkan rasa benci padanya. Jahat sekali dia. Memberiku harapan, setelah itu pergi tak tahu kemana. Apakah orang seperti itu layak untuk dicintai?

Tapi…
Sekuat apapun aku berusaha melupakannya…
Apalagi membencinya…
Aku tak bisa menghapus rasa suka ini. Walau hanya secuil yang tersisa.

Ada yang bilang, harusnya aku mencintai seseorang yang bisa membuatku bahagia. Namun, beginilah. Mencintai seseorang itu tak selamanya bahagia. Kadang sedih juga. Yaa, mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur jatuh cinta. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, lebih baik aku tak mengenal Sasuke. Memangnya siapa yang mau mencintai seseorang yang hanya memberi harapan palsu? Mending diberi kepastian walau menyakitkan, daripada diberi harapan namun palsu.

Aku benci Sasuke!

Jahat sudah membuatku tak bisa berpaling. Bikin aku terus menangisi kepergiannya. Membawa hatiku yang terdampar di hatinya. Pergi tanpa pamit. Tanpa memberi kepastian. Ini terlalu sakit.

Tapi, kenapa aku masih bertahan?
Aku kerap kali merenggut jantungku sendiri. Menjambak rambutku. Bodohnya aku yang terus menunggu dia yang tak pasti! Bodohnya aku yang terus bertahan sementara dia tak peduli.

Tap…tap…tap…
Aku berjalan pulang. Mataku bengkak. Hidungku agak merah. Wajahku makin kelihatan pucat. Mataku berat. Aku juga tadi tak bergabung dengan sahabat-sahabatku. Kebanyakan menyendiri.

“Sakura-chan.”

Aku terperangah. Menoleh ke sumber suara yang berasal di sisi kiri. Aku mengira kalau itu adalah Sasuke. Tapi itu dienyahkan kembali dengan kenyataan yang ada. Bukan Sasuke. Melainkan Kak Itachi. Kini sosok itu membawa sebuah kado dan karangan bunga berbagai varian. Ada bunga tulip ungu, mawar, dan beberapa bunga sakura. Sungguh, karangan yang indah. Aku saja yang baru melihatnya langsung terkesima. “Kak Itachi?” emeraldku terpaku pada hadiah itu. Aku jadi ingat Sasuke yang menjanjikan hal seperti itu.

Dia menyapaku dengan senyuman simpul. “Sebenarnya, kakak menunggu Sakura-chan. Hadiah ini untuk Sakura-chan.” dia menyodorkannya.

Ingatan tentang Sasuke muncul secara bertubi-tubi. Membuat air mataku kembali menggenang. Tentang janji itu. Termasuk kecupan manis di hari itu. Aku ingat. Semuanya aku ingat.

Aku akan memberimu karangan bunga, dan sebuah hadiah.”

Refleks aku memegang ubun-ubunku. Turun, menjamah telinga dan pipiku yang kini basah dengan air mata. Lalu berhenti di bibirku yang sedikit terbuka.

“Lupakan Sasuke. Kakak juga berusaha melupakan Sasuke. Sekarang tugas kakak adalah membuatmu bahagia. Jangan menangis. Maaf kakak memberi hadiah ini. Ini titipan dari Sasuke, jadi kakak harus memberinya padamu.”

Aku masih tertegun. Kini karangan bunga itu berada di tanganku. Tak sadar. “Kenapa Kakak memberiku hadiah? Untuk apa? Harusnya simpan saja untuk Kakak. Buat apa Kakak nyuruh aku untuk melupakan Sasuke, kalau Kakak malah memberikan sesuatu yang bisa membuatku kembali mengingat Sasuke!” aku menggertak.

“Kakak juga tidak mau kamu terus ingat Sasuke. Tapi Sasuke bilang, aku harus memberikan ini pada Sakura.” kulihat air matanya menggenang. Sebenarnya Sasuke itu pergi kemana? Luar negeri? Korea? Amerika? “Ini, bawa saja. Mau kau apakan juga terserah. Yang terpenting kakak sudah berikan ini. Jangan menangis terus, ya.” Kak Itachi tersenyum. Berusaha menghiburku dengan memelukku sekejap. Dan kotak hadiah itu sekarang sudah ada di tanganku.

“Kakak pulang dulu, ya. Masih ada tugas kuliah. Jaa-” Lantas ia pergi begitu saja.

Diam sejenak.

Tapi kemudian aku mencampakkan hadiah itu ke tong sampah di dekatku. Tanpa berpikir. Pokoknya, aku benci Sasuke. Aku tak mau lagi mengingatnya.

Aku berlari. Pulang ke rumah. Sambil sesekali menyusut tiap air mata yang mengalir. Meski sebenarnya ada rasa tak rela membuang hadiah itu. Aku harus bisa melupakannya.

Sreg-
Kubuka pintu rumah dengan sedikit kasar. Aku heran melihat Ibu dan Ayah berkemas. Mereka tersenyum melihatku. Seperti yang akan pergi berpiknik. Yang benar saja.

“Ah, kau baru pulang. Ayah dapat gaji pertamanya di pekerjaan baru. Kita piknik di danau, yuk.” Ibu terlihat bersemangat.

“Apa?” aku mengernyit.

“Tadinya kita mau hanami. Tapi itu kan sudah tidak aneh. Kita mau hal yang baru.” ucap Ayah.

Ibu menghampiriku. Melepas tas ranselku. “Sana, siap-siap. Hapus air matanya. Kau sampai jatuh sakit karena menangis.” Ibu menyeka alur air mataku. Dia berjalan menaiki tangga. Mungkin untuk menyimpan tasku. “Kau ini anak muda, kan. Masa mudamu ini harus berkilauan.” teriak Ibu dari lantai atas.

“Iya. Ayah juga pernah merasakan jatuh cinta saat seumuranmu. Kau tahu? Ayah pernah hampir bunuh diri karena ditolak oleh ibumu.” ucap Ayah.

Aku menganga. Baru sekarang aku tahu cerita itu. Dramatis sekali.

“Sudah siap. Ayo, Sakura.” Ayah menjinjing kotak khas piknik.

“Tidak perlu ganti baju, langsung saja. Ayah sebentar lagi akan pergi kerja.” ucap Ibu yang sedang menuruni tangga. Lantas merangkulku. “Ayo. Kau butuh hiburan.” Ibu mencolek hidungku gemas.

Aku hanya ikut saja. Sebagai anak, aku harus jadi pelengkap kebahagiaan mereka. Baru kali ini aku merasa senang melihat kebersamaan kami begitu dekat. Ayah yang selalu bergurau sepanjang jalan membuatku tersenyum lagi. Keluarga mungkin satu-satunya obat bagiku.
Duduk melingkar di atas hamparan permadani kecil. Rerumputan hijau tumbuh di pinggiran danau. Seperti biasa, di musim semi selalu ramai dengan pengunjung. Meski hari ini hanya ada pemancing dan beberapa keluarga lain yang piknik sama seperti kami. Ibu mengeluarkan makanan dari kotak. Menyajikannya di tengah. Ada makanan mewah, tradisional, rumahan. Umm, semuanya kelihatan lezat. Makanan yang jarang kukonsumsi. Ayah benar-benar baik. Sampai ramen instan pun tersedia. “Ini beneran kan, Yah?” wajahku mungkin berseri sekarang.

“Iya. Makanlah sepuasnya. Kapan lagi kita kumpul lalu makan bersama seperti ini?”

Ibu menata piringnya. Aku menggosok-gosokkan tangan. Siap mencicipi. Kuambil sumpit lalu mengetuk-ngetukannya. Ayah dan Ibu melakukan hal yang sama. “Itadakimasu!” ucap kami serentak.

Kami menyantap hidangan dengan lahap. Suasana hatiku jadi sedikit lebih tenang. Karena melihat wajah Ayah dan Ibu yang bahagia.

“Iya. Waktu itu ibumu benci sama Ayah. Ibumu itu gengsinya tingkat dewa. Ngakunya benci ternyata suka.” Ayah tertawa mengingat masa lalunya. Aku ikut tertawa dan Ibu hanya memukul pelan bahu Ayah.

“Ayahmu itu playboy. Jadi ibu tidak mau.” sergah Ibu.

“Kalau Ibu tidak mau sama Ayah, aku gak akan lahir, sekarang.” aku tertawa geli.

“Bu, anak kita udah besar, lho! Jangan lupa!” ingat Ayah dengan ekspresi jenakanya.

“Oh iya ya! Ibu lupa!” Ibu menepuk jidatnya sendiri. Haha, pura-pura lupa.

Sejenak, luka itu terlupakan…
Kini aku bisa tersenyum.
Ingatan Sasuke, jauhkan dulu saja. Aku ingin sedikit lebih lama bersenang-senang. Andai saja Sasuke ada di sini. Hmh- aku menghela napas berat. Di saat seperti ini, aku pun ingin Sasuke ikut merasakannya.

“Ibu, aku boleh kan minta Uchiha untuk jadi guru privatku lagi?” tanyaku. Ketika makanan sudah habis tak tersisa. Aku duduk dengan kaki terlentang. Kedua tanganku bertumpu. Perutku kekenyangan. Susah bergerak.

“Tentu bisa. Kalau kau mau.” jawab Ibu. Ada binar di mataku tatkala kalimat itu terucap. Ada kemungkinan kecil kabar buruk itu enyah.

“Kalau begitu, aku mau besok Uchiha ke rumahku.”

“Siap.” Ibu merapikan kembali barang bawaannya.

“Hei, Uchiha yang mana?” tanya Ayah. Dia duduk bersandar di bawah pohon. Perutnya buncit. Terlalu banyak makan.

“Uchiha Sasuke.” jawabku langsung.

“Ohh, Sasuke…” mulut Ayah membulat sempurna. “Jangan-jangan kau suka padanya?”

Aku terperanjat. Pipiku blushing. Secepat itu Ayah menyadarinya. Aku jadi gelagapan sendiri. “A-apa? Yang benar saja, Ayah!”

Ibu tertawa geli. “Tidak apa, kalau kau suka Sasuke. Dia itu baik. Pintar pula. Ibu juga suka. Asal jangan suka sama Naruto. Haha.”

Naruto? Salah satu siswa di sekolahku yang nilainya selalu jelek. Kurang disiplin, boros, rakus, pembuat onar. Ah, hampir tak ada kelebihannya. “Naruto kan sudah punya Hinata.” iya, Hinata. Gadis lugu yang cantik itu jatuh cinta pada Naruto si konyol. Haha, cinta kadang seaneh itu.

“Sakura, cari lelaki itu yang seperti ayah. Ayah memang suka bercanda. Tapi, ayah tidak suka membuat wanita sebagai bahan candaan. Intinya, carilah seseorang yang bisa memperlakukanmu dengan baik.” jelas Ayah yang masih bersantai. Ibu hanya tersipu.

“Sakura, kau mau jalan-jalan, kan? Nah, di sekitar sini ada pohon apel. Tolong petik beberapa. Ayahmu suka apel.” perintah Ibu sambil menyodorkan keranjang kosong.

Aku mengangguk mantap. Kuraih keranjang itu. Lantas berjalan ria mencari pohon apel. Sesekali meloncat-loncat layaknya anak kecil. Sejak kapan aku sebahagia ini? Kapan terakhir kali aku meloncat kegirangan? Ha, entahlah.

Tep-

Langkahku terhenti. Dari celah antarpohon itu, aku menemukan sosok. Terlihat samar punggung dengan lambang Uchiha itu tengah bersimpuh. Aku mengerjap. Siapa dia? Kalau dilihat dari rambutnya, pasti bukan Sasuke. Sejenak aku menghela napas kecewa. Namun orang itu lebih terlihat seperti Kak Itachi. Rambut kucir itu jadi ciri khas-nya. Sedang apa dia? Rasa penasaran membawaku lebih mendekat. Semakin ke dalam, penerangannya kian redup. Dikarenakan pepohonan yang rimbun. Menjadi penampang sinar matahari. Emeraldku terfokus pada bayangan itu.

“Oi, sudah kubilang dia pasti akan menolaknya.”

Bicara dengan siapa dia? Lekas aku mengendap-endap sembunyi di balik pohon besar. Sambil sedikit menengok untuk menguping pembicaraannya.

“Coba kalau kau bangun kembali.”

Apa maksudnya? Dia bikin aku penasaran. Memangnya dia bicara pada orang seperti apa? Aku coba menyembulkan kepala. Terlihat Kak Itachi ternyata sedang berbicara dengan kuburan. Semerbak harum melati masih tercium. Tanda bahwa kuburan ini masih baru.

Aku terkejut. Apa itu? Sebuah karangan bunga dan kado itu…, yang tadi Kak Itachi berikan padaku, kan? Kak Itachi memungutnya? Lalu, dia bawa ke kuburan ini, untuk apa? Terus, kenapa tadi dia bilang yang aneh-aneh? Atau mungkin…

Tidak. Aku enyahkan prasangka burukku. Aku belum melihat jelas nama yang terukir di batu nisan itu.

“Haha, Baka Otoutou, kau terlalu cepat pergi. Harusnya kau temui dulu gadis pink itu. Kau bilang kalau kau ingin bertunangan dengannya.” bisa kudengar isak tangis di sela tawanya yang hambar.

Tunggu, Baka Otoutou katanya? Itu bukannya panggilan untuk adik? Siapa?

Tidak.
Tidak mungkin!

Aku berjalan mendekat. Hanya untuk melihat nama itu. Meski aku sebenarnya takut kalau-kalau prasangka-ku menjadi kebenaran. Aku kian dekat saja. Dan begitu aku bisa melihat jelas nama itu. Aku terkejut setengah mati. Lututku melemas. Seluruh tubuhku gemetar
 Bila dieja, tulisan yang terukir itu terntata Uchiha Sasuke.

Aku menggeleng-geleng. Menampar sendiri pipiku. Takut hanya mimpi. Tapi bukan. Ini nyata. Air mataku menggenang siap tumpah. Tak sanggup menerima semua ini. Terlalu buruk. Sangat. “Tidak…! Tidak mungkin!” nadaku serak. Emeraldku membulat tak percaya. Air mata itu mengalir membentuk parit di pipi. Batinku sakit. Aku tak mau semua ini menjadi kenyataan!

Kak Itachi menoleh. Sempat terkejut melihat kehadiranku. Keranjang yang kubawa malah jatuh begitu saja. Saking lemasnya. Seluruh jariku gemetar hebat. Kubekap mulutku.

“Sakura…?!”

Aku berjalan lebih dekat lagi. Ingin lebih jelas. Masih tak percaya. Benarkah ini? Aku masih bertanya-tanya. Tak ingin percaya. Semuanya bohong. Harus bohong.

Aku terduduk. Tanganku menyentuh tanah merah itu. Mencengkeramnya erat. Benci. Ini bukan mimpi. Kenapa juga harus nama Sasuke yang diukir? “Hik, Hik!” aku terisak. Air mataku berjatuhan membasahi tanah.

“Sa-ku-ra…, ini…”

Aku merunduk. Menangis. Ini yang maksudnya pergi? Pergi dan takkan kembali? Tempat yang jauh?

Kenapa?! Kenapa Sasuke harus pergi ke tempat ini?! Sasuke, batinku sesak. Aku hanya bisa menggigiti bibir bawahku. Tak tahu harus bagaimana.

Tapi, apakah semua ini salahku? Aku yang terlalu mengabaikannya? Aku menganggap perkataanya itu hanya bualan semata? Ternyata benar. Fisiknya lemah, itu benar. Kenapa harus benar, Sasuke?! “Sasuke…” gumamku di sela tangis.

“Sakura…” kurasakan tangan Itachi bergerak hendak merangkulku. Segera kutepis dengan kasar. Kutampakkan raut tak suka. Tanpa pandang bulu. Tak peduli dia yang khawatir padaku. Emeraldku yang basah hanya menatap tajam padanya.

“Kenapa kau tak bilang kalau Sasuke pergi ke tempat jauh?! Kau menyembunyikannya! Kau bukan kakakku! Kau membuatku kecewa! Harusnya kau bilang dari awal kalau Sasuke sudah tidak ada!” tangisku semakin menjadi kala aku mengucapkan kalimat terakhir. Getir hatiku. “Kau bilang dia bertunangan lalu pergi! Kau bohong! Bohong! Jahat! Kau harus bilang kalau Sasuke sudah mati. Kau menyiksaku! AKU BENCI!” kutekan kata terakhirnya. Nadaku serak. Amarah menggebu-gebu di hatiku. Ingin kuluapkan. Semuanya.

“Maaf—”
“Kembalikan Sasuke padaku! Kembalikan! Hiks, hiks. Kau jahat menyuruhku melupakan Sasuke! Sialan! Uchiha sialan! Mana Sasuke? Dimana Sasuke?!” aku seperti orang yang kerasukan. Kusentuh batu nisan itu. Menambah dukaku semakin dalam. Setiap kali kulihat nama Uchiha Sasuke di batu nisan itu, aku terus dihadapkan pada kenyataan yang buruk.

Dan karena si Itachi, aku jadi berpikir tidak-tidak tentang Sasuke. Aku bahkan sempat membenci Sasuke karenanya. Maafkan aku, Sasuke.

“Maaf, aku tak ingin memberitahumu, karena aku takut kau menderita.” Itachi langsung menerjangku. Memeluk dengan erat. Aku meronta. Meski kunciannya kuat, aku mendorongnya lebih kuat lagi. Sampai tubuhnya tersungkur. Aku tak peduli. Dia itu orang jahat bagiku.

“Menjauhlah dariku! Kau ini pembohong! Aku benci! Aku benci! Kau yang menyuruhku melupakan Sasuke! Jahat! Aku tak mau melihatmu lagi! Aku tidak mau! AKU TIDAK MAU MELIHAT WAJAHMU LAGI!” napasku tersenggal. Akhirnya aku melemas. Kutaruh kepalaku di atas tanah itu. Dahiku menempel. Masih terisak.

“Kakak…, maaf.” ucapku lemah. “Aku tak bisa melihat Sasuke lagi. Sasuke, aku selalu menunggumu.” aku mendongak. “Kau ingat saat kita pertama kali bertemu? Lalu kita terikat sebagai guru dan murid. Waktu itu, senyumanmu adalah hal yang paling kunantikan. Kau ingat saat kita berdua di atas salju? Kau ingat sekeras apa dirimu? Hei, apa kau tidak akan memanggilku 'Jidat' lagi? Bangunlah, Sasuke. Aku ingin kau memanggilku dengan sebutan itu. Hei, nilaiku jadi jelek lagi. Kau mau kan menjadi guruku lagi? Menjelaskan lalu tidur dan membiarkanku mengerjakan tugas? Ayo, lakukan lagi, Sasuke.” pipiku basah dengan air mata.

“Sakura, sudah.”

“Dia mendengarnya. Aku yakin dia mendengar. Dia tak pernah mengabaikanku. Setidaknya dia menjawabnya dengan jawaban singkat. Atau hanya alis yang terangkat.” timbalku. “Sasuke-senpai! Aku memanggilmu Sasuke-senpai! Cepat marahi aku, Sasuke!”

“Sakura…,”

“Lihat! Aku sedang memperhatikanmu! Cepat pukul aku! Suruh aku jangan terus memandangmu.”

Itachi menyentuh bahuku halus. Aku merunduk. “Hiks, hiks…” menangis. Terisak lagi. Menyakitkan. Jelas Sasuke sudah mati. Tak ada jawaban. Ataupun reaksi. Aku bersikeras tak ingin percaya.

“Aku hanya bilang apa yang Sasuke bilang. Kau boleh menangis sekarang. Tapi jangan berkepanjangan. Carilah kebahagiaan. Jangan lampiaskan emosimu pada siapapun dan benda apapun. Atau kau akan kehilangan semuanya. Sakura, kau tahu, pesan terakhirnya sebelum dia pergi? ” onyx Itachi mulai basah.

Katakan padanya, kalau aku mencintainya. Jangan biarkan dia jatuh cinta padaku. Biarkan aku saja yang berjuang. Biar saja aku yang merasakan pahitnya perjuangan.”

Kepalaku pusing. Pandanganku kabur. Tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap. Yang kulihat hanyalah kegelapan. Aku pingsan. Kegelapan menyelimutiku. Mengintaiku. Kesuraman. Aku tak bisa lagi melihat warna-warni yang biasa berpendar di mataku. Dunia ini bukan apa-apa. Tanpa dia, semua ini terlihat suram.

Percuma untuk membuka mata pun, semua tidak akan terlihat berkilauan. Sasuke pergi membawa hatiku yang terdampar di hatinya. Memberi kepedihan atas kepergiannya yang tak terelakan. Aku memang tak bisa menerima semua ini. Mendadak jadi gadis bisu yang tak pernah tersenyum. Kalau saja Itachi memberitahuku dari awal, mungkin aku takkan separah ini.
...
Karangan bunga yang Sasuke titipkan itu sekarang sudah menjadi pajangan di kamarku. Dan hadiahnya yang berupa kalung berliontin bunga sakura itu sekarang melingkar di leherku. Anggaplah sebagai kenangan terakhir. Ah, tidak. Hapus kata 'terakhir' itu. Terlalu menyakitkan. Cukup sebagai kenangan saja. Agar aku tak lupa, kalau aku pernah mengenal seseorang yang membuat banyak perubahan dari diriku. Dia yang membuatku tahu bagaimana berwarnanya ketika mencintai seseorang.

-oOo-
The End
-oOo-


3 komentar: