Minggu, 31 Juli 2016

Moonlight Firework

Moonlight Firework

Author: Annadekorin
Disclaimer: Naruto(c) Mashashi Kishimoto
Rate: T
No. Prompt: #37
Kategori: SasuSaku AU

Summary:[S-Savers Contest: Banjir TomatCeri]Ketika kutatap malam purnama, cahaya terang namun terkesan suram mengingatkanku pada dirinya. Sosok yang aku cintai, yang aku perjuangkan mati-matian. Malah meninggalkanku begitu saja di tengah malam bulan purnama. Akankah aku bisa melihat bulan purnama bersamanya lagi? Menyalakan kembang api bersama lagi ketika orang lain datang menggantikan posisinya?

.
.
.
Itadakimasu~
.
.
.

“Fiuhh~” Kuhempaskan tubuh mungilku ini ke ranjang. Rasa lelah seakan kandas begitu saja. Kupejamkan mata merasakan dinginya benda ini berbeda dari biasanya. Kini terasa ada hembusan angin yang menelusuk ke tubuhku. Aku samakin merapatkan mantel pink-ku. Jujur saja, tengah malam seperti ini aku baru pulang. Usai berjalan-jalan menyusuri kota bersama Gaara. Sampai pada akhirnya dia menyatakan perasaan padaku untuk kesekian kalinya. Dengan setting romantis di tengah taman bunga sakura. Riuhnya angin senja ikut menemani keromantisan kami waktu itu. Aku memang sempat mempertimbangkannya. Bukan hanya karena dia tampan dan keren, tapi dia juga pengertian dan selalu menjagaku. Namun entah kenapa aku masih terpaku pada satu keputusan. Aku memilih untuk tetap menunggu Sasuke.

Keromantisan pun berakhir saat aku menjawab tidak. Tampak raut muka kecewa di wajah Gaara. Tapi itu tak membuatku gentar untuk mengubah keputusan.

Dia bilang aku bodoh…
Bodohnya aku yang terus menunggu orang yang telah meninggalkanku selama beberapa tahun ini. Mungkin karena kenangan manis yang kuukir bersama Sasuke tak bisa dihilangkan begitu saja. Aku tidak bisa melupakan saat-saat dimana aku dan Sasuke bermain kembang api setiap bulan purnama. Meski terkadang Sasuke tampak malas menanggapiku, tapi aku mengaku senang. Dan mulai saat itu aku terpesona padanya. Tapi aku terus memendam perasaan ini. Aku berusaha menganggap aku dan Sasuke hanyalah teman.

“Jangan terus menunggu yang tidak pasti. Disini ada aku. Aku menyayangimu. Meski kau tak menyukaiku, tapi aku akan berusaha untuk membuatmu suka padaku.”

Kata-kata Gaara itu masih terngiang di telingaku. Aku merasa Gaara itu cerminan diriku. Lekas aku bangun. Menoleh ke arah jendela yang menempel di dinding dekat ranjangku. Aku lupa belum menutupnya ternyata. Pantas saja sedari tadi aku kedinginan.

Aku bergeser sedikit mendekati jendela itu. Saat aku hendak menutupnya, aku jadi terpaku pada langit malam yang terang disinari oleh cahaya bulan purnama.
Ah!
Mataku berbinar seketika. Ternyata sekarang sudah masuk pertengahan bulan, ya?
“Wahhaha~” Aku tertawa riang. Rasa kantuk yang sejak tadi menghantuiku kandas seketika.

Aku beralih posisi menjadi tengkurap sambil menopang dagu dengan kedua tanganku. Memandangi indahnya malam bulan purnama. Lampu-lampu rumah dan gedung di bawahnya ikut menghiasi malam ini.

Sekelibat bayangan wajah Sasuke terlintas di benakku. Parasnya yang rupawan, tatapannya yang menggoda, sikap dinginnya yang terkesan keren… ahh aku merindukan semua itu.
Ini membuatku teringat pada sepenggal kisah yang menyakitkan.. tepat di hari itu.

~

bzztt-
Aku pegangi kembang api yang baru kusulut itu sambil duduk di bangku taman. Tepat di sebuah jalan sepi. Kupandangi langit sekali lagi. Memastikan bahwa malam ini adalah malam bulan purnama. Lalu kenapa Sasuke tak kunjung datang? Mana mungkin dia lupa?

Atau mungkin dia ikut tournament basket? Tapi itu mustahil. Sudah larut malam dan Sasuke belum datang juga?

Aku celingak-celinguk. Mencari sosok pemuda berambut raven itu. Meski dia kadang malas menemaniku, tapi dia tak pernah membiarkanku sendirian menatap langit purnama di sini. Terlebih lagi aku sudah membeli mercon yang jika disulut dan meluncur meledak di langit akan membentuk tulisan sambung "We'll be together forever". Aku sengaja memesannya. Karena bulan ini adalah bulan kelahirannya Sasuke.

Aku juga sudah siapkan sebuah kotak biru berisi syal putih yang kurajut khusus untuk hadiah ulang tahunnya. Aku tahu, ini bukan tanggal kelahirannya. Tapi aku buat kejutan sedikit lebih awal dari hari H agar Sasuke tak curiga.

Tapi kenapa sampai sekarang dia belum muncul juga?

Kueratkan mantel pink-ku ketika angin malam mulai menelusuk ke rongga-rongga tubuhku.

Setelah sekian lamanya aku menunggu, dia tak kunjung datang. Dan akhirnya aku putuskan untuk pulang saja sambil membawa kembali 2 hadiah yang tadinya ingin kuberikan pada Sasuke.
“Mungkin dia lupa dengan purnama kali ini…” dengusku.

Tapi…

Tep!

Aku terpaku saat di pertigaan jalan. Melihat di sana Sasuke tampak berjalan sambil menggiring sebuah koper besar. Di punggungnya juga ia menyandangkan tasnya. Tapi tak lama ia berlalu. Lekas aku berlari. Berniat ingin mencegatnya di pertigaan selanjutnya.

“Hosh… hosh… Sasuke~” desahku sambil terus berlari.

Berbelok ke persimpangan jalan itu lalu aku berhenti. Tepat di hadapan Sasuke yang sempat terbelalak akibat kedatanganku yang tiba-tiba.
Aku merentangkan kedua tangan. Mencegahnya agar tak melarikan diri.

“Sakura, kau menghalangiku.” ujarnya ketus.

Sebentar aku tenangkan nafasku. “Mau kemana? Aku menunggumu di tempat itu. Kau lupa ya kalau sekarang bulan purnama?” Aku coba mengingatkan.
Dia mengangkat sebelah alisnya “Hn? Aku ingat.”

Senyuman merekah seketika di wajahku. “Kalau begitu, ayo kita main kembang api!” ajakku berantusias sambil mengeluarkan beberapa batang kembang api dari saku.

Dia malah tertawa kecil. “Kita sudah bukan anak kecil lagi. Memangnya apa hubungannya kembang api dengan purnama?”

Aku mengernyit. Tak mengerti kenapa dia menjadi seperti ini. Bukan Sasuke yang aku kenal. “Bukannya kau yang bilang waktu itu? Kalau kau sedang kesepian, memainkan kembang api bisa mengatasinya.” aku mengingatkannya lagi.

“Tapi aku tidak bilang kalau main kembang api harus saat bulan purnama.” timbalnya. Aku tertegun sejenak. Wajahku murung. “Pergi dari tempat ini adalah hal yang bagus mungkin.”

Aku tersentak. Dia berjalan lurus begitu saja tanpa memperdulikanku. Aku berbalik badan. Sergah dia! Sergah dia, Sakura! Innerku terus memerintahkan agar tak membiarkan Sasuke pergi begitu saja. “K-kemana?!! Jangan pergi!” aku setengah berteriak.

Dia berhenti melangkah namun tak menoleh. “Bukan urusanmu.”

“Tentu saja itu urusanku. Aku sudah menunggumu, tapi kau malah pergi. Aku mohon jangan pergi…” Tanpa kusadari, air mata mulai membendung di atas pelipisku. Objek yang kulihat perlahan mulai tak jelas akibat cairan bening itu.

“Apa yang kau katakan? Dasar kekanak-kanakkan!”

Ugh! Kata-kata Sasuke itu… membuat dadaku sesak. Begitu tajam dan menusuk. Membuat air mataku tumpah seketika. “Kalau kau pergi, aku mau ikut bersamamu…” pintaku.

Sasuke bergeming. Dan akhirnya ia meneruskan langkahnya. Aku terperangah dan berlari kecil sedikit mengejarnya. “Jangan pergi!! Aku mohon!!” teriakku yang akhirnya terduduk karena lututku terasa lemas. Merasa tak berdaya untuk mengejar dan mencegah Sasuke.
“Aku selalu menunggumu! Aku menunggu saat dimana aku bisa berada di sisimu. Bukan sebagai teman, tapi sebagai pelindung dan penyemangatmu. AKU MENCINTAIMU DENGAN SEPENUH HATIKU!!!” pada kalimat terakhir aku berteriak sekencang-kencangnya. Sebelum akhirnya aku menunduk terisak. Entah dia berubah pikiran atau tidak, yang jelas aku mendengar langkahnya berhenti. Aku sendiri tak percaya bisa mengucapkan kalimat itu dengan spontan dan lantang. “Aku mencintaimu… mencintaimu… jadi, kumohon tetaplah disini bersamaku. Aku ingin menjadi tempatmu pulang. Aku ingin jadi pelindungmu..” kataku lembut dengan kepala yang masih merunduk.

Aku menengadahkan kepala. Kupandangi punggung Sasuke yang masih terpaku di situ. Tak menampakkan wajah sedikit pun. “Sekarang adalah bulan kelahiranmu. Aku membawakan hadiah untukmu. Karena itu, tetaplah di sini…” bujukku sambil membuka kancing mantel mengeluarkan sebuah benda dilapisi kertas kado warna biru bermotif bintang.

Jujur saja, aku sudah menyiapkan ini dari jauh-jauh hari. Syal ini juga aku rajut sendiri setiap malam hari. Perlahan tapi pasti jadilah syal putih yang sederhana ini. Aku ingin sekali melihat Sasuke memakai syal ini.

“Jadi…?”

Hanya itu respond-nya? Sungguh, aku ingin respond yang baik. Aku menunduk kembali. Kukira dia akan senang mendengar aku bawa hadiah.

“Aku harus bagaimana…?”

Aku tersentak. Suara bariton itu terdengar dekat. Kurasa sumbernya dari belakang. Tapi aku coba untuk menengadahkan kepala. Tak ada siapa-siapa. Kemana Sasuke? Mungkinkah Sasuke di belakangku?

“Aku harus bagaimana, Sakura…?” sekali lagi ia bertanya seperti itu. Sebelum akhirnya dia memukul tengkukku dengan keras. Hanya sepatah kata yang kudengar adalah “Arigatou.” dan akhirnya semua menjadi gelap. Aku kehilangan kesadaran. Setengah mati aku berusaha menghentikannya pu tetap tak bisa. Hanya ini yang kudapat setelah bersusah payah meraih cintanya.

Sasuke entah kemana…
Keberadaan syal dan mercon-ku juga tak diketahui. Tapi Ino bilang ada seorang warga yang mencurinya. Ahh entahlah… yang jelas aku masih tak terima tentang syal yang capek-capek kurajut itu malah dicuri.

~

“Sakura…?” Samar terdengar suara seseorang yang memanggil. Entah itu mimpi atu kenyataan. Aku dalam keadaan setengah sadar. “Sakura…? Sakura!” sekali lagi ia memanggil sambil mengguncangkan tubuhku. Akhirnya mataku terbuka. Kembali menatap kenyataan. Aku masih dalam keadaan tengkurap di depan jendela. Itu berarti? Aku ketiduran. Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati sosok lelaki berambut merah tersenyum manis, parasnya tampan menawan… Ahh!!! Dia… dia… adalah… Gaara…! Kenapa dia bisa ada di sini?

Saking terkejutnya, aku cepat bangun. Beralih posisi menjadi duduk. “Gaara…?! Kenapa bisa kesini?!” mataku membulat tak percaya.

Dia malah tersenyum. “Bibi Mebuki memintaku untuk menjemputmu ke rumahnya. Karena dia butuh bantuan untuk merawat Nenek Chio.” jelasnya.
Ibuku memang sedang berada di desa Suna untuk menemani Ayah yang bekerja dan Nenek yang sedang sakit. Aku sendiri tinggal di sini karena tak bisa meninggalkan sekolah kedokteranku. Sejak lama Ibu sudah mengenal Gaara. Bahkan dia mengira bahwa kami berhubungan khusus. Dan entah mengapa dia merestui Gaara sebagai calon menantunya.

“Kenapa harus tengah malam begini?” aku masih tak percaya.

“Sudah…, ayo ikut saja. Kasihan kan Bibi harus mengurus Nenek Chio sendirian…” ujarnya merasa iba. Dia menggenggam tanganku. Menarikku halus ke luar rumah.
Kalau sudah begini, apa boleh buat? Ya aku ikuti saja dia. Aku tak habis pikir, kami harus pergi ke desa Suna. Sementara di larut malam begini kendaraan umum jarang ada.

Jujur saja, aku merasa tidak nyaman digenggam erat seperti ini. Berapa kali aku coba sedikit meronta, tapi tak bisa. Ya kupaksakan saja lah.
“Sakura, tahu tidak?” tanyanya
“Tidak.” jawabku datar sambil menyisir rambut yang sedikit kusut dengan jariku.
“Hei aku belum selesai bicara…”
“Kalau begitu lanjutkan.” ujarku ketus.
“Kau tahu tidak kenapa Bibi Mebuki memintaku menjemputmu? Karena kita akan menginap di rumah Bibi. Dan besok kita akan merundingkan tentang tanggal pertunangan. Itu menyenangkan, kan?!” jelasnya berantusias.

Aku membelalakan mata “APA?! Kenapa secepat itu?!!” aku… aku tak percaya. Itu berarti tentang Nenek Chio itu hanya modus belaka? Mungkin dia sudah tahu kalau aku akan menolak ajakannya jika dia bilang begitu. Tapi sungguh aku sangat menyesal sekarang. Aku coba meronta-ronta ingin melarikan diri. “Lepaskan aku, Gaara!!!”

Gaara tersenyum “Baik. Jika itu maumu, aku lepaskan.” dengan lembutnya ia melepas tanganku. “Aku tak mau membuatmu terkekang.” ujarnya.

Jelas lah itu membuatku luluh. Tadinya aku mau kabur, tapi…
“Gaara… aku kan sudah menolakmu… kenapa kau-”
“Syuttt” dia segera menyangkalnya dengan cara meletakkan telunjuknya di bibirku. “Aku tahu kau tak menyukaiku. Tapi aku menyukaimu. Untuk itu, aku akan terus berjuang untukmu…”

Aku benar-benar luluh sekarang. Dia sungguh ingin berjuang? Andai saja yang bicara seperti itu adalah Sasuke…, hmmh~ aku tak bisa membayangkan betapa bahagianya diriku.
“Nah, pegang ini…”
Kami berhenti melangkah. Gaara memberiku 2 batang kembang api. Aku mengernyit.
“Sini…” lantas dia menyeretku untuk duduk di sebuah benteng sisi jalan.

Bzzzttt-
Dia menyulut kembang api yang berada di tanganku dan yang di tangannya.
Di bawah langit bulan purnama… menyalakan kembang api bersama. Tapi kini terasa beda. Bukan dengan orang yang kucintai, melainkan dengan orang yang mencintaiku. Meski begitu, tetap saja aku teringat pada Sasuke.

“Kau suka kembang api, kan?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk.
“Oh ya, ini… aku bawa ceri untukmu. Makanlah…” ujarnya sambil mengeluarkan se-plastik buah ceri merah yang menggoda. Segera saja aku bawa dan memakannya. Satu senyuman mulai merekah di wajahku. Sudah berapa lama aku tak merasakan suasana seperti ini.
“Kau senang…?” tanyanya.
Aku mengangguk. Lama-kelamaan Gaara terlihat manis kalau seperti ini. Aku pun jadi merasa nyaman.

“Sakura…, aku menyukaimu…”

Untuk kesekian kalinya dia mengucapkan kalimat itu dengan lembut. Aku hanya bergeming sambil menikmati ceri dan memandangi kembang api yang bersinar cerah di malam hari.

“Aku heran, kenapa kau bisa mengabaikan orang yang berjuang untukmu. Memangnya sehebat apa Sasuke itu sampai membuatmu tak bisa melupakannya?” tanya dia.
“Yang aku tahu, aku hanya mencintai dia seorang. Setiap aku melihat kembang api dan bulan purnama, aku selalu teringat padanya.” jelasku sambil tersenyum tatkala sekelibat bayangan wajah Sasuke terlintas di benakku.
“Apa dia juga begitu? Apa dia teringat padamu saat melihat kembang api dan bulan purnama?”

Pertanyaan Gaara itu membuatku terenyak. Tenggorokanku tercekat.

“Pertunangan kita akan direncanakan. Jadi, bisakah kau melupakan Sasuke?”

Lagi-lagi itu membuatku tertegun. Mendadak tak bisa mengambil keputusan. Kembang api yang kami nyalakan berangsur habis. Dan akhirnya malam ini terlihat gelap kembali.
Uhuk! Uhuk!
Sampai-sampai aku tersedak buah ceri.
“Eh? Sakura! Kenapa? Tunggu sebentar, biar aku belikan minum.” Gaara mendadak panik lantas ia berlari meninggalkanku seorang diri.

Uhuk! Uhuk!

Syuuunggg~
Dwarrrr~

Tiba-tiba saja terdengar suara dentuman seperti bom berkali-kali. Membuatku terkejut seketika, namun berubah jadi terkesima saat aku menengadahkan kepala. Melihat kelamnya langit malam itu berhias mercon yang dinyalakan oleh seseorang. Membentuk tulisan sambung "We'll be together forever"

“Wuahh~” Mataku berbinar melihatnya. Siapa yang menyalakan ini? Kenapa juga jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Apa aku terlalu kagum melihat pemandangan ini?
Sungguh ini sangat indah…
Dan tulisannya…
Tulisan itu…?
Itu adalah…?!
Ahh!!!
Aku baru ingat! Bukankah itu persis seperti mercon yang aku pesan untuk Sasuke beberapa tahun silam?!
Ya, benar!

Aku terlonjak bangkit dari duduk. Sungguh, sekarang jantungku tak bisa diatur. Tanganku seakan hampa. Riuhnya angin malam menuntunku untuk mencari siapa orang yang menyalakan mercon ini. Mungkinkah orang itu… adalah Sasuke…?

Meski itu kedengarannya mustahil, tapi aku masih berharap bahwa itu adalah Sasuke. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya. Ingin meluapkan semua rasa yang berkecamuk dalam hati ini padanya.

Entah kenapa juga kakiku refleks melangkah menuju arah tempat dimana aku dan Sasuke sering bermain kembang api saat itu.

Sepanjang jalan, hatiku tak henti-hentinya merapalkan doa. Berharap itu benar-benar Sasuke. Aku mohon. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Walau sekali saja… setidaknya aku bisa melihat wajahnya.

Tep!

Aku berhenti tatkala melihat seorang lelaki yang duduk di bangku taman sambil melempar sembarang bekas mercon. Wajahnya terlihat seperti Sasuke. Tapi, style rambutnya berbeda. Bukan chicken butt lagi, melainkan rambut raven lurus dengan poni yang menutupi sebelah matanya. Dia mengenakan baju hangat. Dan yang membuatku tercengang adalah syal putih yang melingkar di sekitar lehernya. Itu seperti syal yang aku berikan pada Sasuke waktu itu.

“Sasuke…?”Ucapku lirih. Meskipun mata berkata bahwa ini bukanlah Sasuke, tapi hatiku tetap bersikukuh mengatakan bahwa ini adalah benar-benar Sasuke.

Aku terenyak. Mendadak kaku. Mulutku seakan tak bisa berkata lagi. Memandangi siluet wajahnya dari samping.

Tap!

Tiba-tiba saja ada benda dingin yang menempel ke pipiku. Aku tersentak. Kupikir, seseorang pasti sengaja melakukan ini. Aku menoleh. Dan kudapati sesosok lelaki bertubuh tegap dan bertatto ai di dahi itu tersenyum menempelkan sekaleng minuman dingin ke pipiku. Gaara…
“Sedang apa di sini?” Tanyanya sambil menurunkan minumannya.

Sejenak kupandangi wajahnya. Tapi tak lama aku torehkan lagi pandanganku kepada sosok lelaki yang kuanggap Sasuke. Namun tampaknya orang itu menghilang. Tinggal sebuah syal putih yang tergeletak begitu saja di bangku, dan bekas mercon yang dibuang sembarang.
Deg!
Kemana dia? Apa dia pergi? Kenapa dadaku terasa sesak?

 “Apa? Siapa yang kau cari?” aku refleks menggulirkan pandangan ke Gaara. Nampaknya dia mengikuti arah pandangku tadi. Sambil mengernyit, ia memicingkan matanya.
“T-tidak…” segera aku menyergahnya. Apa yang kulihat tadi itu hanya bayangan semata? Benarkah? Kalau memang itu bayangan, kenapa aku merasa bahwa itu nyata. Kenapa juga orang itu meninggalkan syalnya begitu saja? Apa mungkin syal yang kulihat barusan juga adalah bayangan?
Tap.
Sekali lagi aku menorehkan pandangan. Syal putih yang tergeletak menari-nari tersibak angin. Masih seperti itu. Aku yakin ini bukan bayangan, bukan khayalan.

“Sakura…” Ucap Gaara sambil mengangkat daguku memalingkan pandanganku dari benda itu. Dan beralih memandang wajahnya. “Ayo pergi. Kita takkan menyusuri jalan ini, kan.” Ujarnya.
“Ta-tapi…”aku masih ragu. Keadaan jadi bimbang seperti ini. Antara memilih untuk mengejar orang yang membuatku penasaran, ataukah lebih baik ikut dengan Gaara yang sudah pasti memberikan harapan lebih. Dalam situasi seperti ini, terkadang aku harus berpikir cepat. Dan untuk berpikir cepat, aku harus mendengarkan kata hati. Tanpa logika sekalipun.

Cup!

Tiba-tiba saja dalam heningku Gaara mengecup keningku. Cukup membuatku tersentak. Bibir lembut Gaara menyapu halus keningku. Debaran jantung seakan tak bisa lagi dikontrol. Angin malam berdesir seiring letupan-letupan yang diberikan Gaara di setiap kecupan mesranya. Seakan dia tak ingin kehilangan diriku.

AH Tidak! Memangnya siapa yang aku kejar selama ini? Siapa yang membuatku rela bertaruh apapun? Bukan Gaara! Bukan dia orangnya! Sasuke… ya… Sasuke… aku harus mengejarnya.

Tep!

Aku dorong sedikit tubuh Gaara hingga kecupannya pun ikut lepas. Dia tampak mengernyit heran. “Maaf.” hanya sepatah kata itu yang kuucapkan sebelum akhirnya aku pergi berlari meninggalkan kehampaan di hati Gaara. Meski aku sempat dengar Gaara berteriak memanggil-manggil namaku, namun itu tak membuatku gentar untuk kembali padanya. Dengan cepat, kuraih syal putih itu lalu berlari sekencang mungkin. Berharap aku tak sampai kehilangan jejak.

Meski aku tak tahu dimana ia sekarang, dan ke arah mana aku harus mengejarnya, namun keyakinan hatiku pasti akan menuntunku ke jalan yang benar.

Sudah sampai di penghujung jalan desa Konoha, namun aku tak kunjung menemukan Sasuke. Kemana dia? Secepat itukah dia pergi? Untuk berbicara dengannya pun belum sempat, bahkan menyentuh wajahnya pun tidak.
Aku berhenti sejenak. Air mata kembali membendung kala rasa sesak kembali menghampiri dadaku. Aku edarkan pandanganku ke sekeliling. Yang tampak hanya jalanan sepi, langit hitam, dan pepohonan yang menjulang di sepanjang jalan terbatasi oleh benteng.

Lututku terasa lemas tak berdaya. Hingga akhirnya aku terduduk. Dengan kepala merunduk aku meratapi kesedihan. Isak tangis seorang wanita di bawah terangnya bulan purnama.

Tep!

Tiba-tiba saja ada sepasang tangan kekar yang memegang kedua bahuku. Membuatku terperangah. Jantungku memicu berdegup kencang. Sentuhan hangat yang diberikan. Aku menoleh ke belakang. Dan mendapati sosok wajah yang tampan rupawan, rambut raven lurus berponi yang menghalangi mata onyx kirinya. YA! Orang ini…. Apa dia Sasuke? Benar Sasuke?

Air mata kian mengalir dengan derasnya. Bukan air mata kesedihan, melainkan ada rasa haru. Berjumpa dengan seseorang yang telah kurindukan selama beberapa tahun ke belakang. Aku kerjapkan mata sebentar. Takut ini hanya mimpi. Namun berapa kalipun aku mengerjap, sosok ini takkan hilang. Ini benar nyata… ya… nyata.
“Sa…Sasuke…?” aku masih tak percaya.

Sebentar dia membantuku untuk bangkit. Saat itu pun kami saling berhadapan. Menatap satu sama lain. Seakan takdir telah mempertemukan kami.
Deg…deg…deg…
“K-kau… Sasuke?” aku ingin memastikan sekali lagi.

“Hn. Ngapain kesini?” Aku masih berpikir ini hanya mimpi, dan aku takut terbangun lalu menatap kenyataan yang pahit.

“S-Sasuke…?” aku masih tak percaya. Secepat kilat tubuhku menerjang tubuh Sasuke. Memeluknya dengan erat. Kehangatan yang kuinginkan. Aku mulai terisak di sana, meluapkan seluruh rasa rinduku padanya. Tak peduli jika air mataku membasahi baju yang ia pakai. Aku ingin membuktikan bahwa ini nyata.
Dalam situasi tak terduga seperti ini kadang aku tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya bayangan. Tapi, merasakan kehangatan ini, aku yakin… ini nyata. Sekali lagi… ini nyata!

Kurasakan sepasang tangan kekar itu mulai melingkar di tubuhku. Membalas pelukanku dengan belaian lembut.
Semerbak harum parfum tercium lebih menyengat dari yang dulu. Sasuke banyak berubah. Sedangkan aku? Aku hanya meluruskan rambut yang masih sebahu itu, dan memakaikan 2 jepit merah di sisi kiriku.

“Sakura…?” panggilnya lembut.
Aku diam. Karena isak tangis ini tak bisa berhenti.
“Apa kau masih punya perasaan yang sama pada waktu itu?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menghapus jejak air mata. Namun tetap memeluknya dengan erat seakan tak mau kehilangan.
“Apa kau masih menyukai diriku yang seperti ini? Aku yang tega meninggalkanmu bertahun-tahun.”

Aku melepas pelukan. Kembali menatap onyx kelamnya yang memandangku dengan intens. Sungguh, berhadapan langsung dengannya membuatku speechless. Padahal, ada banyak hal yang aku ingin katakan padanya, ingin kuluapkan padanya. Tapi saat begini, kenapa aku mendadak bisu.
“Kau masih menyukai diriku?” tanyanya lagi.
Aku akhirnya mengangguk. “Aku sudah bilang, aku akan menunggumu.”
“Sungguh? Tapi aku kira kau sudah dapat seseorang yang jauh lebih baik dariku, yang mencintai dirimu dengan tulus. Kenapa sampai sekarang kau masih menunggu diriku yang bejad ini?” tanyanya lagi.

Memang benar. Ada yang mencintaiku dengan tulus. Gaara…
Kenapa aku masih menunggu Sasuke?
Itu pertanyaannya.
Ya jawabannya simpel...
“K-karena aku… mencintaimu. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kukatakan. Tapi… aku sungguh tak ingat apa yang ingin kubicarakan.”ucapku.

Dia tampak terenyak.

Aku lingkarkan kembali syal putih ke lehernya. “Hmm, kau ternyata yang mencuri syalnya?”

“Eh?” dia mengernyit tak mengerti.

“Kupikir orang lain yang membawanya. Tapi nyatanya hadiah itu sudah berada di tangan pemiliknya. Kenapa kau tak bilang kalau kau menerimanya?” ujarku sambil merapikan syal-nya.

Bibirnya malah tersungging.

“Kupikir…, kau takkan mengejarku.” ucapnya.

“Kupikir…, kau takkan menemukanku…” timbalku.

“Memangnya kau kira aku kembali ke Konoha itu untuk siapa, ha?” ujarnya sambil menyentuh dahiku dengan 2 jarinya.
Sett- pipiku blushing mungkin. Bisa kurasakan wajahku menghangat.
“Aku sempat takut. Takut kau lelah menungguku. Takut kau diambil orang lain. Maaf sudah membuatmu menunggu…” ucapnya lagi sambil menghapus alur air mata yang mulai mengering di pipiku.

Jarinya itu turun menjamah bibirku. Dia terdiam cukup lama. Tatapan onyx yang penuh arti itu membuatku canggung. Begitu lamat menyelami emeraldku. Perlahan, sepasang onyx itu terpejam. Wajahnya kian mendekat. Aku tahu apa yang akan ia lakukan. Sungguh, debaran ini tak mampu dikontrol.

Tapi— kyaaa!
Tiba-tiba saja ada yang menarikku. Menghindar dari Sasuke. Entah siapa dan dari mana asalnya. Yang jelas, orang itu seakan ingin memisahkanku dari Sasuke. Ada rasa kecewa dalam hati. Bayangan tentang kecupan mesra itu harus dienyahkan karena kehadiran orang ini. Sekarang tubuhku dikunci. Kulihat Sasuke pun tampak kecewa.

“Maaf. Tapi dia adalah milikku.”

Gaara. Ya, suara ini suara Gaara. Sasuke balas mendelik tajam. Gaara dengan kasarnya membalikkan tubuhku. Menghadap dirinya. Dan bibirnya langsung menyambar bibirku. Tanpa aba-aba. Aku terkejut sekaligus merasa bersalah. Aku tak bisa melihat bagaimana ekspresi Sasuke. Aku meronta-ronta kala Gaara melumat bibirku dengan ganas. Aku saja tak terima. Terlebih napasku habis. Aku terus mendorong-dorong bahu Gaara. Menghentak-hentakkan satu kaki. Berharap Sasuke bisa menolongku. Aku tak terima Gaara merebut ciuman pertamaku. Sekeras apapun aku menolak, Gaara malah semakin nakal menciumku. Aku tak ingin. Maaf Sasuke! Bisakah kau menolongku?!

“KRR! Sialan!” akhirnya, Sasuke menggeram. Dia mendorong Gaara hingga tubuh Gaara terhuyung dan kecupannya terlepas. Aku menghela napas lega. Tak puas, Sasuke menarik kerah baju Gaara dengan kasar. Dia murka. Bisa kurasakan dari aura yang terpancar. “Apa-apaan kau ini?! Jangan seenaknya mencium gadis yang sama sekali tak punya rasa padamu! Kau pikir wanita itu mainan, ha?! Yang bisa kau cium seenaknya bahkan di depan umum hanya untuk pamer?!”

Bugh!
Satu pukulan melayang ke pelipis Gaara. Membuat luka lebam. Gaara merintih.

“Sasuke…” lirihku. Ingin melerai, namun aku pun tak bisa menerima perlakuan Gaara yang keterlaluan.

“Aku dan Sakura akan bertunangan! Jadi wajar kalau aku mencumbunya!” balas Gaara tak mau kalah.

Bugh- Sasuke memukul pipi Gaara lagi. Suara rintihan terdengar. “Tapi Sakura tidak mencintaimu! Dengar itu! Aku tahu kau hanya ingin bercumbu dengannya! Dasar sialan!” Sasuke beberapa kali menonjok wajah Gaara. Bahkan sampai perut pun ia jadikan sasaran. Kali ini Sasuke punya keahlian bela diri. Aku hanya bisa tertegun. Merasa bahwa Gaara memang pantas mendapatkan ini.

Kusentuh bibirku. Basah. Aku merasa miris. Ciuman pertamaku, direbut. Dirampas secara paksa. Air mataku menetes. Kali ini aku membenci Gaara. Tak ingin melihatnya lagi. Dia jahat. Di luar nalarku. Tanganku gemetar. Terlebih lagi, aku tak tega Sasuke melihat pemandangan buruk barusan.

Satu pukulan terakhir melayang ke perut Gaara. Sebelum akhirnya tubuh Gaara terhempas. Sasuke menyudahi aksinya. Merasa puas. Napasnya terengah. Sementara Gaara hanya menyeka sudut bibirnya yang berdarah. Onyx Sasuke bergulir menatapku. “Ayo kita pergi, Sakura.” dia menyambar lenganku. Menarikku secara paksa. Sebaliknya, ini malah membuatku senang. Aku sempat mengatakan maaf pada Gaara sebelum Sasuke pergi membawaku.

“Sa-ku-ra!” kulihat Gaara menggapai-gapaikan tangan. Tak tega sebenarnya. Tapi, mau bagaimana lagi? Terlanjur benci akan perbuatannya.

Kini aku berjalan mengekor di belakangnya. Meski aku tak bisa menyamakan langkahku, setidaknya dia ada bersamaku. Aku merasa terselamatkan. Walau aku tak tahu dia akan kemana. Berjalan tak tentu arah. Namun aku yakin, dia akan memberikan yang terbaik untukku.

Kami duduk di sebuah bangku taman. Di atas rerumputan hijau yang bergoyang. Dengan lampu taman yang berjajar menerangi. Seperti lapangan luas yang dibuat khusus untuk menikmati pemandangan. Garis cakrawala bisa terlihat langsung di ujung sana. Disini hanya kami berdua. Sasuke duduk menyilangkan kaki dengan kedua tangan dijejalkan ke dalam saku mantel. Onyx itu menentang langit. Hanya diam. Kami tak mampu berkata. Hanya terdengar suara jangkrik yang berdengking. Ada kemungkinan Sasuke marah atas kejadian tadi.

“Jangan gampang dicium.” tegasnya dengan nada ketus. Onyx-nya masih memandang langit.

“Maaf, tapi aku tidak tahu kalau Gaara—” aku urung menjelaskan kelanjutannya.

Sasuke menghela napas berat. “Sudah kubilang, jaga 'itu' baik-baik!”

“Memangnya kaupikir aku mau dicium olehnya?! Dia itu terus memaksaku agar mau bertunangan dengannya! Aku takut, Sasuke... Aku takut...” aku terisak. Badanku menggigil. Pokoknya aku tidak terima Gaara merampasnya. Bibirku sudah tidak perawan. Argh, sial sial sial! Dalam hati aku terus merutuki.

Sasuke memegang pipi kananku. Menarik kepalaku agar bersandar di bahunya. Dia seakan mengerti apa yang kurasakan. Kuluapkan tangisanku. Sebenarnya aku tak mau malam purnama terindah ini malah dihiasi dengan isak tangis. Kurasa, Gaara merusak segalanya. Sekarang aku tak ingin lepas dari Sasuke. Sasuke, kunci aku dalam pelukanmu. Aku mencengkeram mantelnya. Tak ingin kehilangan. Sekarang aku takut pada Gaara. Sasuke satu-satunya tempatku untuk bersandar.

Bzzztt-
Sebuah cahaya kuning itu berpendar di tengah kegelapan malam. Sasuke menyulut sebatang kembang api. Tak ada bedanya dengan kembang api hang disulut Gaara. Tapi jika dibandingkan dengan yang disulut oleh Gaara.

“Jangan pikirkan orang tadi.” ujar Sasuke. Ia menarik satu tanganku. Lalu menumpangkannya di atas tangan kekarnya yang menggenggam kembang api.

Dia lantas mengecup pucuk rambutku. Ada debaran yang tak biasa. Begitu hangat. Endusan napasnya terasa menenangkan. “Yang tadi, aku tarik.”

Emeraldku menengadah. Menatapnya tak mengerti.

“Tentang ciuman itu, aku reset.”

“Ta-tapi—”

“Yang tadi tidak dihitung.” kulihat, Sasuke bersungguh-sungguh. “Ciuman pertamamu harus aku. Jadi, yang tadi itu tak dihitung.” jelasnya.

Reset katanya? Yang benar saja? Tapi, entah kenapa aku pun jadi merasa tak terjadi apa-apa. Melihat keyakinan pada perkataannya itu. Dia sangat yakin. Seolah jentikan sihir yang membuatku percaya dengan omongannya. Suasana hatiku membaik.

Kami pandangi kembang api yang sudah hampir habis itu. Cahayanya masih terang. Ini malam purnama dan kembang api terindah bagiku. Rasanya lengkap jika aku mencintai dan dicintai. Kami saling mencintai. Di bawah naungan langit hitam yang membentang dengan bulan purnama yang benderang serta bintang gemintang yang bertaburan. Membuat malam ini lebih berkesan. Aku tak ingin momen ini berlangsung singkat. Memohon agar aku bisa terus seperti ini bersama Sasuke.

Kembang api itu berangsur padam. Membakar habis batangnya. Sasuke membuangnya lantas merunduk. Melihatku lebih dekat. “Dasar. Jelek sekali. Jangan nangis.” ketusnya.

“Ihh-” desisku.

“Kau mau kucium?” nadanya lebih terdengar seperti ingin menggodaku. Aku pukul saja bahunya pelan. Terkekeh lalu pura-pura cemberut.

“Dasar menyebalkan.” aku menggerutu.

Sasuke menarik daguku. Ia mengerucutkan bibirku dengan cara menekan dua pipiku. “Kau ini beneran mau dicium, ya?” godanya lagi.

Kulepaskan tangan kekarnya dari pipiku yang mulai kesakitan. “Ih, kata siapa?”

“Kau secara tidak langsung memintanya.” dia mengangkat sudut bibirnya. Tatapan menggoda.

“Sok tahu!” ketusku memalingkan wajah. Memasang tampang sebal.

Sasuke merengkuh tengkukku. Aku mengaduh. Dia terlalu kasar.

Syuuung-
Dwarr!
Eh? Dia menyalakan mercon. Meluncur ke langit. Membentuk hati dengan sparkle berwarna pink menyala. Indah. Kapan dia menyulutnya? Dari mana dia dapat mercon sebagus ini? Padahal tadi kulihat tangannya kosong.
Tepat begitu mercon itu diluncurkan, Sasuke menunduk menatapku. Tak ambil lama, dia langsung mendaratkan bibirnya di atas bibirku. Sekilas, namun terasa hangat. Membuat jantungku berdegup kencang. Pipiku mungkin sudah semerah tomat.

“Sakura, aku memberimu dua pilihan. Be mine, or make me yours?”

Aku tertawa geli. Itu kan sama saja. “You're mine, and I'm yours

Kami tersenyum. Kebahagiaan ini menyelimuti kami. Aku enggan untuk berpaling darinya. Ingin terus selamanya seperti ini. Mengarungi hari bersama.

Pada kenyataannya, anggapan bahwa dicintai itu indah, tak selamanya begitu. Jika tak ada kata 'saling' yang melengkapinya, itu akan tetap terasa sakit. Terkekang. Seperti halnya aku. Aku hanya dicintai oleh Gaara, sedangkan aku malah membencinya. Itukah yang disebut indah?

Saling mencintai, saling dicintai. Itulah kebahagiaan duniawi. Aku dan Sasuke saling mencintai. Momen yang kutunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Awalnya kupikir ini hanya mimpi, khayalan yang takkan pernah terwujud. Tapi jika takdir sudah berkata, apapun bisa terjadi. Tak ada yang bisa menentang takdir. Bahkan bintang sekalipun.

For the first time, moonlight firework with my boyfriend.

Kuharap, selamanya akan seperti ini.

2 komentar:

  1. Bagus. Saya suka. Buat lagi yang lainnya dong

    BalasHapus
  2. Makasih sudah baca dan komen😊 fanfic yang lain masih dalam proses;)

    BalasHapus