Senin, 21 November 2016

Sparkling Fest




Triing-

Handphone-ku berdering di atas buffet. Aku yang baru selesai mandi—sambil menggosok-gosokkan handuk ke rambut hitamku, kuraih ponsel itu. Hanya sebuah pesan singkat dari Hime, sahabatku.

'Nanti malam jadi kan ke festival hanabi?'

Aku tertegun. Sejenak hanya kupandangi isi pesan itu. Lalu kembali meletakkan ponselnya tanpa membalas pesan itu. Aku berjalan untuk mematut diri di cermin. Rambut sebahuku terlihat acak-acakan. Kusimpan handuknya, beralih menyisir rambutku. Kucolek sedikit pelembab, kemudian meratakannya ke wajahku. Kurasa ini cukup. Lagipula aku takkan keluar rumah. Lantas aku duduk di kursi belajar. Tentunya untuk melanjutkan tugasku yang belum selesai.

Manik mataku bergulir menatap dua kertas yang tergeletak di dekat laptopku. Di sana terpampang Festival Hanabi 9 Juni lengkap dengan background langit malam yang dipenuhi gemerlapnya kembang api. Sebenarnya aku sudah punya rencana. Jauh sebelum acara ini diadakan. Tentu ada alasan yang membuatku membeli dua tiket untuk pertunjukan kembang api. Tadinya, aku ingin menghadirinya bersama dia.

Dulu, lantai bawah mansion ini diisi oleh seorang laki-laki. Pertama kali aku mengenalnya, adalah saat ia yang tanpa izin malah menjemur pakaian di balkonku. Dengan alasan agar pakaiannya cepat kering. Semenjak itu, kami sering bertengkar karena ia sering mencuri makanan di kamarku. Karena itu, kami jadi sering ngobrol. Terlebih kami satu sekolahan. Hubungan kami semakin dekat hingga akhirnya kami berpacaran. Entah apa yang kupikirkan saat itu. Pacaran dengan penghuni menyebalkan seperti dia. Hanya saja tidak tahu kenapa dia punya sesuatu yang membuatku tertarik. Yang membuatku bisa tertawa lepas, dan menjadi tembok kuat untukku bersandar. Namun,

~

Pada hari kelahirannya, tepatnya saat awal musim panas. Aku merencanakan sebuah pesta kecil bersamanya. Karena ini musim panas dan sekolah diliburkan, pagi–pagi, aku pergi ke minimarket. Aku menuruni tangga dengan terburu-buru. Sampai di minimarket, aku membeli semua yang kubutuhkan. Dari mulai baking powder, terigu, mentega, sampai buku resep pun tak lupa kubeli. Ini untuk ulang tahun Takumi, kekasihku.

Setelah semuanya terpenuhi, aku beranjak pulang. Waktu terus berjalan. Hingga sore menjelang, tiba waktunya aku menyiapkan pesta kecil. Kupilih salah satu resep di buku yang tak terlalu susah. Aku coba mencampurkan bahan-bahan sesuai dengan resep. Kuaduk rata dengan pengocok. Dicampurkan dengan terigu. Beberapa kali aku mencicipinya, takut kurang manis. Selesai membuat adonan, aku menuangkannya ke dalam loyang berbentuk bulat lalu memasukkannya ke oven. Setelah kuenya matang, aku hias dengan mentega putih. Tak lupa juga tulisan happy birthday dan dua lilin yang ditancapkan di dua sisinya.

Kulirik jam di dinding. Sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tepat waktu. Aku segera mengganti baju. Lalu kubawa kue itu sambil menenteng balon. Menuruni tangga dengan hati-hati. Sebelum masuk, aku nyalakan lilinnya. Kutengok sebentar lewat celah gorden yang sedikit terbuka. Tapi hanya terlihat sofa. Kupegang gagang pintunya lalu membukanya sedikit. Aku menyembulkan kepala. "Otanjoubi omedetou, kyou wa taisetsu na Anata no," ucapku. Tapi, di sini tak ada siapapun. Aku coba buka lebar-lebar pintunya.

Sedikit ragu, aku coba memasuki rumahnya. Kuletakkan kue yang kubawa di meja kecil dekat sofa. "Takumi, happy birthday!" ujarku girang. Namun tak ada yang menyahut. Sudah aku cek di seluruh ruangan, dia tidak ada. Aku pun duduk di depan meja kecil itu. Kuronggoh ponsel dalam sakuku. Coba menghubungi nomor Takumi. Butuh beberapa saat untuk terhubung. "Takumi-kun, kau dimana?" sahutku langsung.

"Aku, sedang di luar. Ada apa? Perlu bantuanku? Katakan saja."

Aku diam sejenak. "Tidak. Kau cepat pulang, ya. Aku, ingin bertemu."

Butuh waktu cukup lama untuk hanya menjawab “Iya.” Aku menutup telponnya. Pandanganku bergulir pada lilin yang sudah mulai meleleh. Kumatikan api yang sudah membakar lilin itu. Detikan waktu yang mengisi keheningan seolah membuatku terasa sudah menunggu berabad-abad. Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja. Aku semakin bosan. Kubenamkan wajahku di atas lipatan tangan. Memejamkan mata sebentar. Suntuk, aku akhirnya terbawa ke alam mimpi. Tertidur nyenyak.

.

Seberkas sinar yang menerabas membuat kelopak mataku terbuka. Yang pertama kali kulihat adalah langit-langit rumah yang nampak asing. Aku bangkit duduk. Bokongku terasa nyeri. Mungkin karena tidur yang hanya beralaskan karpet. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Bukan cat pink muda yang mendominasi. Ini asing bagiku. Kusapukan pandanganku. Kamar ini juga terlihat kosong. Hanya ada meja-meja kosong. Tak ada pelengkap interior. Seperti sudah tak berpenghuni.

Pandanganku beralih pada sebuah kue bolu di atas meja yang telah dipotong sedikit di salah satu bagiannya. Melihat itu, seketika tubuhku menegang. Jika aku tidak berada di kamarku, apakah berarti ini kamarnya Takumi? Aku gelagapan sendiri. Celingak-celinguk tak mengerti. Terlebih melihat kamar ini kosong membuatku cemas.

Aku mendekati kue bolu di meja kecil. Dan kutemukan di situ secarik kertas yang dilipat. Aku coba membukanya.

Dear,

Akira, terima kasih untuk kue-nya. Aku sudah mencicipinya. Enak sekali. Kau pasti sudah susah payah membuatkannya untukku, kan? Oh, ya terima kasih atas ucapan selamat ulang tahunnya. Dari mana aku tahu? Tentu dari tulisan di bolu itu. Dan aku juga pasti tahu kau sudah memberi ucapan saat aku belum pulang.

Sebenarnya, aku ingin bilang sesuatu padamu. Tapi aku tidak tega membangunkanmu yang sudah tidur lelap. Kau terlihat lelah, jadi kubaringkan kau agar tidurmu nyaman.

Maaf, ya, Akira. Saat kau bangun mungkin kau akan melihat kamarku kosong. Jangan panik. Aku hanya pergi. Tenang saja, aku hanya pergi ke Osaka. Hanya mungkin, kau tidak akan lagi memarahiku yang selalu mencuri makananmu. Kau tidak akan menemukan pakaianku dijemur di tempatmu. Aku hanya akan meneruskan sekolahku di sana. Karena ibuku menjemputku. Entah kapan aku kembali.

Terima kasih untuk semuanya, Akira.

Dan mungkin, kita sudahi saja hubungan kita. Akira, kita putus ya.

Takumi Nagata

~

Tak terasa, air mata menelesak turun di pelipisku. Kenangan ini masih terbesit di benakku. Bahkan secarik surat itu masih kusimpan di laci. Rasanya sakit bila mengingat tentang ini. Tidak ada lagi Takumi yang senantiasa menyapaku setiap pagi, sore, dan malam. Yang paling menyakitkan itu saat mengingat kue bolu yang kubuat saat itu akhirnya kubiarkan. Dia tega.

Pernah aku coba menghubunginya, namun ternyata nomor itu sudah tidak aktif lagi. Tak mungkin aku mengejarnya ke Osaka. Aku tak punya uang untuk membeli tiket pesawat untuk penerbangan dari Kyoto ke Osaka. Aku hanya bisa menunggu tanpa kepastian. Walau tahu rasanya akan lebih sakit daripada hanya ditinggalkan.

.

Aku berjalan menyusuri trotoar. Dengan menggunakan yukata hitam bercorak bunga sakura. Aku menggelung rambutku agar terlihat rapi. Menyisakan poni di sisi kanan dan kiriku. Sambil menenteng tas kecil berwarna pink muda, aku menunggu bus yang akan mengantarkanku ke festival kembang api.

.

Sesampainya di festival, baru saja sampai gerbang, seseorang menyapaku. Dia memakai yukata berwarna cerah bermotif bunga. Dengan rambut sebahunya yang dibiarkan terurai. "Akira! Aku sudah menunggumu dari tadi!" ujar Hime sambil tersenyum riang.

Kuikuti langkahnya. Memasuki kawasan festival setelah sebelumnya aku menyetor tiket pada penjaga gerbang. Di sini, kami bisa melihat jam digital yang terpampang di pusat perputaran bianglala. Ada banyak stand bazar menawarkan varian makanan. Seperti permen kapas, choco banana, takoyaki, dan masih banyak lagi. Di setiap stand itu dihias dengan lampu berwarna-warni. Sehingga malam ini penuh dengan cahaya.

"Kembang api akan diluncurkan lima detik lagi." pengumuman dari speaker itu membuat sejumlah orang terburu-buru berkumpul di depan bianglala. Termasuk Hime juga mulai mencari pacarnya.

Sementara aku kebingungan sendiri. Brugh! Dan aku terhempas ke tanah akibat para wanita yang berlarian tanpa sengaja menubrukku. Aku bangkit lagi. Apakah hanya aku sendiri yang berdiri di sini?

Syuung! Dwarr!

Aku pun berbalik badan. Bukan ini festival yang kuinginkan. Aku ingin bersama Takumi. Bukan bersama orang itu. Biarkan saja orang menganggapku bodoh karena menunggu seseorang yang mungkin takkan kembali. Entah Takumi yang jahat telah meninggalkanku, atau aku yang egois tak mau putus dengannya. Tapi sekarang, aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin tertidur pulas agar bisa melihatmu di alam mimpi.

~

Aku berjalan malas menuju mansion. Kuronggoh kunci di dalam tas kecilku. Saat sampai di mansion, sejenak aku menatap kamar lantai bawah itu. Dulunya kamar itu ditinggali oleh Takumi. Dia selalu berdiri di depan pintu kamarnya jika aku belum pulang. Lalu mengucapkan 'Okaeri' lengkap dengan senyuman manisnya. Membayangkannya saja sudah membuatku ingin menangis. Aku sangat rindu. "Tadaima, Takumi-kun." ucapku sendiri sebelum menaiki anak tangga.


Aku menaiki tangga menuju kamarku. Sedikit menyeka air mata yang tak terasa menetes di pelupuk mataku. Aku coba tersenyum untuk lebih tegar.

Saat sampai di lantai dua, aku hendak membuka kunci pintu rumah. Tapi, ada seseorang yang menghalangi pintunya. Seseorang yang membuatku terbelalak. Lelaki berbadan tinggi dan tegap itu tengah berdiri menyenderkan punggungnya ke pintu sambil melipat tangan di dada. Dari rambut hitamnya yang ditata asal-asalan namun terkesan keren, dan dari tatapan matanya yang dingin, membuat sesuatu di dalam dadaku bergejolak.

"Okaeri, Akira-chan." ucapnya sambil tersenyum samar.

Aku tak bisa menahan bibirku untuk tak tersenyum. Air mataku sudah menggenang siap tumpah. Seluruh tubuhku gemetar. Sampai tasku jatuh tak terasa. Menatap matanya, membuatku menangis. "Tadaima, T-Ta-ku-mi..." gumamku di sela tangisan. Aku tak mempercayai semua ini. Kuseka air mata yang tak hentinya mengalir. "Aku, pasti bermimpi."

"Kenapa menangis? Ini aku." Takumi berjalan menghampiriku. Jemarinya kemudian mengusap pipiku yang basah. Aku semakin terisak. Merasakan tangan lembutnya di pipiku, membuatku mengerti bahwa ini bukanlah mimpi. Tak tahan, aku menerjang tubuhnya. Kupeluk ia erat-erat. Kubenamkan wajahku di atas dada bidangnya. Semerbak harum parfum yang tercium, membuatku semakin yakin bahwa ini bukanlah bayangan.

"Hiks, hik, kenapa kau baru pulang sekarang?" aku memukul pelan punggungnya. Tak kuasa menahan rasa rindu yang telah menggebu selama setahun ini.

"Maafkan aku, Akira." sepasang tangannya balas memelukku tak kalah erat.

"Kau tahu betapa aku merindukanmu? Kau tega meninggalkanku sendirian."

"Maaf, atas kesalahanku waktu itu. Dan maaf, aku tak menemanimu ke Festival Hanabi." bisa kudengar suara penuh sesalnya. Kulepaskan pelukannya dengan lembut. Mendongakkan wajah untuk menatapnya. Bisa kulihat matanya yang berkaca-kaca. Aku tersenyum haru. "Tidak apa-apa." ucapku.

Dia balas tersenyum tipis. "Okaeri, Akira-chan."

"Kau pikir siapa yang harusnya pulang." timbalku.

Dia terkekeh pelan. "Tadaima, Akira-chan,"

"Okaeri, Takumi-kun." Aku masih tak mempercayai bagaimana ini bisa terjadi. Rasanya aku senang bisa bertemu dengannya. Tapi aku juga ingin marah atas perlakuannya waktu itu.

Syuuungg~Dwaarr

Suara kembang api yang meluncur dan meledak itu terdengar sampai sini. Terlihat di langit sana gemerlap kembang api berbentuk hati. Aku berdecak kagum. "Indah sekali."

Dia membingkai wajahku. Membuatku berpaling padanya. Sejenak kami saling bersitatap. Dalam debaran yang senada. Dia menatapku lamat. Lantas wajahnya semakin mendekat, bibirnya mendarat di pipiku. Hanya sekilas namun hangatnya membekas. "Aku akan menjagamu." Ucapnya beralih menempelkan dahinya di atas dahiku.

Aku tersenyum. “Ini Festival Hanabi paling mengesankan bagiku.”

Aku memang merindukanmu, selalu menanti-nantikan saat seperti ini. Tapi setelah melihatmu, entah kenapa rasanya aku tak ingin melepaskanmu. Karena aku terlanjur menyayangimu, Takumi Nagata.

.oOo.Fin~

*Cerita ini pernah dipublikasikan di akun wattpad NuruzaHaruko^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar